Bangunan Masjid Pathok Negoro Babadan

Masjid Pathok Negara merupakan masjid Kagungan Dalem, secara struktural berada di bawah kepemilikan Kasultanan Yogyakarta. Masjid pathok negara berkedudukan di bawah pengawasan masjid agung kerajaan. Akan tetapi, dalam beberapa literatur menyebutkan bahwa istilah pathok negara tidak hanya digunakan untuk menyebut bangunan masjid, tetapi juga sebuah jabatan dan status sebuah desa. Masjid Pathok Negara Babadan terletak di tengah Kampung Kauman Babadan, Dusun Plumbon, Kelurahan Banguntapan, Kecamatan Banguntapan, Bantul. Masjid Babadan memiliki sejarah yang khusus pada masa penjajahan Jepang. Daerah Babadan pernah mengalami bedol desa menurut penuturan dari Y. Mashudi (66 tahun) dan pindah ke Babadan Baru, Sleman. Perpindahan ini terjadi secara besar-besaran sehingga tidak hanya penduduknya yang pindah, namun juga bangunan masjid yang berstatus pathok negara. Hal ini yang menyebabkan tidak adanya unsur bangunan asli pada masjid. Saat ini yang tersisa hanyalah mustaka masjid yang terbuat dari gerabah. Mustaka masjid sekarang tersimpan dengan kondisi baik di masjid. Mustaka gerabah berukuran 60 cm x 58 cm x 72 cm.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Pasar Angkruksari

Pasar Angkruksari merupakan bangunan peninggalan Belanda yang masih digunakan sampai sekarang. Pasar Angkruksari diperkirakan dibangun oleh N.V. Braat pada tahun 1926-1930. Bangunan Pasar Angkruksari membujur dengan orientasi barat-timur. Saat ini bangunan pasar tidak digunakan. Pasar berupa satu bangunan tanpa dinding dengan tiang besi di bagian tengah dan tepi. Atap bangunan terbuat dari genteng dan sudah banyak yang rusak. Lantai bangunan sudah hancur dan ditumbuhi gulma. Bangunan pasar berukuran 3 m x 12 m. Umpak berukuran 45 cm x 60 cm di bagian bawahnya dan 25 x 35 cm di bagian atasnya. Tinggi umpak 80 cm. Tinggi tiang 2,8 m (di atas umpak).

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Bale Palereman (Transit Jenasah Raja-raja Mataram)

Bale Palereman (Transit) Jenazah Raja-Raja Mataram di Imogiri merupakan bangunan yang digunakan sebagai tempat transit bagi kendaraan jenazah Raja-Raja Mataram, Kasunanan Surakarta, dan Kasultanan Yogyakarta. Bale Palereman (Transit) Jenazah Raja-Raja Mataram di Imogiri dibangun oleh Susuhunan Pakubuwono X. Bale berdinding plesteran semi terbuka dan menghadap ke arah barat daya. Bale palereman memiliki dua pintu yang terbuka pada dinding barat daya dan timur laut. Pintu barat daya menghadap ke jalan, sedangkan pintu timur laut menghadap ke arah tangga masuk untuk menaiki Permakaman Imogiri. Kedua pintu memiliki ukuran lebar 4,87 m.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Langgar Dhuwur

Langgar Dhuwur dibangun oleh Haji Ibrahim. Haji Ibrahim merupakan tokoh masyarakat Dukuh Celenan yang berprofesi sebagai pengrajin emas (kemasan). Langgar Dhuwur mencerminkan kreativitas dalam pemanfaatan lahan dan modifikasi bangunan tradisional Jawa yang memperlihatkan keunikan dan karakteristik yang hanya ada satu di wilayah Bantul. Keunikan bangunan Langgar Dhuwur dapat dilihat dari konstruksinya yang berupa bangunan panggung dan mihrab yang menjorok ke luar di atas jalan. Selain itu dinding sisi utara langgar yang terbuat dari kayu berornamen rete-rete. Langgar Dhuwur memiliki arti penting bagi sejarah karena Memberikan informasi bukti penyebaran Agama Islam di Dukuh Jagalan.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Bekas Kantor Sinder Tebu Mojosari

Bangunan Bekas Kantor Sinder Tebu Mojosari didirikan pada tahun 1925, pada awalnya digunakan sebagai tempat pertemuan para kontroler (sinder) perkebunan tebu di wilayah Padukuhan Nglengis, Kelurahan Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Bantul. Saat ini bangunan dimanfaatkan sebagai aula, tempat berlatih drumband, gudang, dan dapur. Bagian dapur merupakan tambahan baru ketika renovasi. Di bagian belakang bangunan dibuat ruang penghubung antara bangunan aula dengan bangunan sekolah. Ruang penghubung tersebut saat ini digunakan sebagai ruang Gugus. Bangunan bekas Kantor Sinder Tebu Mojosari menghadap ke utara, hal ini diketahui dari pintu utama yang terletak di sebelah utara. Bangunan terletak di sebelah selatan bangunan TK ABA (Aisyiyah Bustanul Athfal) Mojosari

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Bangunan Cagar Budaya Bekas Kantor Sinder Tebu Madugondo

Bangunan Bekas Kantor Sinder Tebu Madugondo didirikan pada tahun 1925, pada awalnya digunakan sebagai tempat pertemuan para kontroler (sinder) perkebunan tebu di wilayah Dusun Madugondo, Kelurahan Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Bangunan ini juga pernah menjadi bangunan Madrasah Diniyah Madugondo dan kantor Kelurahan Sitimulyo yang pertama menurut penuturan Bapak Hadi Sutrisno (77 tahun). Saat ini bangunan dimanfaatkan sebagai SPS Tunas Madugondo. Bangunan Bekas Kantor Sinder Tebu Madugondo menghadap ke barat, bangunan ini bergaya campuran Jawa dan Kolonial. Unsur-unsur arsitektur Jawa dapat dilihat pada bentuk atap limasan. Unsur-unsur arsitektur Kolonial dapat dilihat pada sistem sirkulasi udara yang berbentuk jeruji kayu, lubang angin di bagian atap depan yang biasa disebut dengan istilah kuncungan.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Rumah Tradisional Dinas Kebudayaan DIY (Bekas Milik Ibu Nur Johan)

Bangunan diperkirakan dibangun pada tahun 1750. Rumah Tradisional pertama kali dimiliki oleh Mr. Kasmat (Ayah dari Ibu Nur Johan). Mr. Kasmat semasa hidupnya berprofesi sebagai pengusaha hotel di Yogyakarta. Sepeninggal Mr. Kasmat, rumah tradisional diwariskan kepada Ibu Nur Johan. Pada tahun 2018, rumah tersebut dibeli oleh Dinas Kebudayaan DIY. Saat ini rumah tradisional dirawat oleh juru pelihara bernama Mukani. Rumah Tradisional Milik Dinas Kebudayaan DIY (Bekas Milik Ibu Nur Johan) menghadap ke selatan. Halaman depan berupa pekarangan yang cukup luas. Pekarangan ini dibatasi pagar dari pasangan bata berplesteran semen. Bangunan terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pendapa, longkangan, dalem, gandok kiwa, gandhok tengen, dan pawon.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Makam Syeh Maulana Maghribi

Makam Syekh Maulana Maghribi terletak di atas Bukit Sentono. Gapura makam berupa candi bentar dari pasangan bata berplester dengan hiasan ornamen kuncup melati pada bagian kepala gapura, motif wajikan di bagian leher gapura, serta motif lotus di bagian kaki gapura. Bagian atas gapura dihubungkan dengan penanda lokasi Makam Syekh Maulana Maghribi. Akses naik ke atas bukit melalui anak tangga yang telah diperbarui dengan pasangan bata berplester dan talud di samping kanan dan kirinya. Lebar anak tangga naik ± 3 m, dilengkapi dengan pagar pembatas yang menjadi pegangan tangan. Makam Syekh Maulana Maghribi merupakan makam tokoh penting yang berperan dalam penyebaran Agama Islam di Parangtritis dan diyakini oleh masyarakat sebagai guru dari Syekh Bela-belu dan Syekh Damiaking.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Situs Cagar Budaya Gunung Wingko

Gunung Wingko merupakan bukti pemanfaatan bentang lahan pesisir untuk kepentingan permukiman yang bertahan sejak zaman prasejarah hingga saat ini. Situs Gunung Wingko terletak 30 km sebelah selatan Kota Yogyakarta. Menurut informasi dari masyarakat, Gunung Wingko dulunya merupakan nama kelurahan (kring) yang mencakup empat dukuh, yakni: Dukuh Ngepet, Dukuh Tegalrejo-Tegalsari, Dukuh Soge Sanden, dan Dukuh Baran Cetan. Saat ini nama Gunung Wingko digunakan untuk menyebut nama salah satu bukit (gumuk) pasir yang membentang dengan orientasi bukit barat-timur dan dipisahkan oleh jalan raya menuju Pantai Samas. Bukit pasir di bagian barat jalan termasuk wilayah Dukuh Ngepet, sedangkan bagian timur jalan termasuk wilayah Dukuh Tegalrejo, Srigading. Pada kawasan bukit ini pernah dilakukan penelitian arkeologi yang menemukan sejumlah artefak berupa tulang manusia, tulang hewan, benda logam, bandul jala, keramik, benda dan fragmen gerabah yang dalam bahasa Jawa dinamakan wingko. Oleh karena itu, bukit ini oleh masyarakat dinamakan Gunung Wingko. Temuan benda dan fragmen gerabah tersebut memiliki tera (cap) anyaman. Sampai saat ini fragmen gerabah masih ditemukan di sepanjang kawasan bukit tersebut.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Candi Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus

Candi Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus dibangun pada tahun 1927 oleh Ir. Julius Schmutzer yang saat itu menjabat sebagai manajer Pabrik Gula Gondanglipuro. Candi gereja didirikan sebagai rasa syukur atas berkat Yesus serta untuk mengenang penyertaan dan belas kasih Hati Kudus Tuhan Yesus. Candi Gereja Hati Kudus Tuhan Yesus Ganjuran menghadap ke selatan. Candi gereja berada dalam kompleks Gereja Hati Kudus Yesus. Candi gereja berukuran 5,14 m x 9, 82 m. Candi gereja memiliki tangga di sisi timur dan barat dengan undakan berjumlah empat buah. Lebar masing-masing tangga 140 cm, serta tingginya 74 cm. Pipi tangga berukuran 30 cm. Tinggi undakan antara 12 cm - 15 cm, serta lebar pijakan undakan 40 cm. Candi gereja dikelilingi semacam parit berukuran 70 cm dengan tinggi parit 10 cm.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Cepuri Parangkusumo

Cepuri Parangkusumo terletak di sebelah utara Pantai Parangkusumo. Cepuri Parangkusumo merupakan struktur bangunan berwujud pagar keliling yang di dalamnya terdapat dua buah batu hitam (watu gilang). Oleh masyarakat batu hitam yang besar dinamakan Selo Ageng, sedangkan batu hitam yang kecil dinamakan Selo Sengker. Struktur pagar yang mengelilingi Selo Ageng dan Selo Sengker berukuran 16,4 m x 13,22 m yang tingginya 1,27 m serta tebalnya 0,25 m dengan gapura menghadap ke arah selatan. Tempat pertemuan Senopati dan Ratu Kidul kemudian dikenal sebagai Petilasan Parangkusumo. Petilasan tersebut berwujud dua gundukan batu di pinggir pantai yang kemudian dinamakan Sela Ageng dan Sela Sengker. Kedua gundukan batu itulah yang kemudian diyakini sebagai salah satu penanda penting bagi kesepakatan atau kerja sama antara Senopati (raja-raja Mataram) dan Ratu Kidul dalam hal kelangsungan hidup Keraton Mataram. Oleh karena itu pula Upacara Labuhan laut oleh Keraton Mataram (Yogyakarta) selalu dipusatkan/ diawali dari Cepuri Parangkusumo.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Pasar Sangkeh

Pasar Sangkeh merupakan bangunan peninggalan Belanda yang masih digunakan sampai sekarang. Penduduk sekitar menyebut bangunan Pasar Sangkeh dengan nama Los Belanda. Pasar Sangkeh diperkirakan dibangun oleh N.V. Braat pada tahun 1926-1930. Pasar Sangkeh menghadap ke barat. Saat ini pasar digunakan oleh masyarakat pada hari pasaran Jawa Wage dan Legi. Pasar berupa dua bangunan tanpa dinding dengan tiang besi di bagian tengah dan bersebelahan. Dua bangunan tersebut masing-masing berukuran 3,04 m x 12,3 m. Lantai bangunan ditinggikan 12 cm. Umpak berukuran 48 cm x 61 cm di bagian bawahnya dan 28 x 40 cm di bagian atasnya. Tinggi umpak 80 cm. Tinggi tiang 2,8 m (di atas umpak).

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

92. Bangunan Cagar Budaya Dalem Kanjengan (Dalem Bupati Juru Kunci Makam Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat)

Dalem Bupati Kanjengan didirikan setelah pemerintahan Sultan Agung. Dalem Bupati Kanjengan merupakan kantor abdi dalem juru kunci Makam Imogiri Keraton Surakarta. Bupati Juru Kunci bertugas mengelola makam-makam milik kerajaan yang terdiri dari: Makam Kotagede, Makam Pajimatan Imogiri, Makam Giriloyo, Makam Singosaren, dan Makam Banyusumurup. Dalem Bupati Juru Kunci menghadap ke selatan. Halaman depan berupa pekarangan yang cukup luas. Bangunan terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pendapa, dalem, dan gadri.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Makam Giriloyo

Makam Giriloyo berada di atas Perbukitan Giriloyo, letaknya di sebelah utara Bukit Merak/Makam Pajimatan. Makam Giriloyo mulai dibangun pada tahun 1629 M, pada masa pemerintahan Sultan Agung (1613-1646). Pembangunan makam dipimpin oleh salah seorang paman Sultan Agung, yaitu Pangeran Juminah. Menurut rencana, makam ini akan digunakan untuk makam Sultan Agung beserta keluarganya. Akan tetapi rencana tersebut dibatalkan karena Bukit Giriloyo terlalu sempit dan juga karena Pangeran Juminah wafat dan dimakamkan terlebih dahulu di tempat tersebut. Oleh karena itu, Sultan Agung kemudian mencari alternatif tempat lain di Gunung Merak yang terletak di sebelah selatan Makam Giriloyo.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Masjid Giriloyo

Kisah berdirinya kompleks Masjid dan Makam Giriloyo erat kaitannya dengan kompleks Masjid Pajimatan dan Makam Raja-Raja Mataram di Imogiri. Masjid dan Makam Giriloyo serta Makam Raja-Raja Imogiri usianya tidak jauh berbeda, sekitar abad 16 M. Kedua tempat tersebut diperkirakan dibangun saat pemerintahan Sultan Agung. Kedua tempat itu terletak di perbukitan di kawasan Imogiri. Bentuk bangunan masjid kedua tempat tersebut juga hampir sama, yakni memiliki model atap tumpang dan limasan dengan bahan utama kayu jati. Masjid Giriloyo merupakan bukti sejarah Kerajaan Mataram Islam, sebagai tempat ibadah yang memiliki ciri khas arsitektur masjid kuno di Jawa.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Jagang Cepuri Keraton Kotagede

Jagang Cepuri Keraton Kotagede merupakan parit luar yang mengelilingi Cepuri Keraton Kotagede. Jagang terdapat di sisi barat, selatan, dan timur cepuri. Jagang termasuk dalam salah satu komponen perkotaan tradisional Jawa. Jagang Cepuri Keraton Kotagede dibangun sebagai strategi pertahanan dan keamanan untuk melindungi keraton dari serangan musuh, serta sebagai pembatas bagi rakyat yang tinggal di luar cepuri (jaba beteng) dengan kerabat raja yang tinggal di dalam cepuri (jeron beteng). Jagang Cepuri Keraton Kotagede yang dapat ditemukan hingga saat ini terdapat di sisi timur, selatan, dan barat cepuri. Ukuran jagang yakni lebar 20 meter sampai dengan 30 meter dan kedalamannya 4 meter.  Jagang Cepuri diperkirakan dibangun setelah cepuri selesai dibangun yakni 1516 Jw (1594 M). Informasi tahun pembangunan cepuri tersebut terdapat dalam Babad Momana dan Babad Tanah Jawi.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Pasar Gatak

Pasar Gatak merupakan bangunan peninggalan Belanda yang masih digunakan sampai sekarang. Saat itu telah dibangun los-los baru di sekitar bangunan pasar. Pasar Gatak diperkirakan dibangun oleh N.V. Braat pada tahun 1926-1930. Bangunan Pasar Gatak memiliki nilai sejarah yang tinggi karena berhubungan dengan perkembangan perekonomian desa khususnya bidang perdagangan dan perindustrian pada masa kolonial Belanda abad XIX - XX terutama di wilayah Bantul.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Rumah Tradisional Milik UGM

Omah UGM adalah sebutan untuk bangunan tradisional Jawa di Kotagede yang dimiliki oleh Universitas Gadjah Mada. Bangunan rumah menghadap ke arah selatan. Bangunan ini terdiri atas beberapa tipe bangunan, yaitu dua bangunan tipe joglo dan dua bangunan tipe kampung. Penggunaan bangunan antara lain untuk pendapa, longkangan, dalem ageng, gandok kiwa, gandok tengen, pawon, dan sumur. Rumah Tradisional Milik UGM dibangun pada tahun 1950-an. Rumah Tradisional Milik UGM diwariskan kepada Ir. Sutaat yang berprofesi sebagai tenaga pengajar di UGM. Oleh Ir. Sutaat, rumah tradisional diwariskan kepada keponakannya yang bernama Parto Darsono. Setelah Parto Darsono meninggal pada usia 96 tahun, rumah tradisional tidak terawat. Pada tahun 2007, rumah tradisional dibeli oleh UGM setelah mengalami kerusakan akibat gempa bumi tahun 2006.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Monumen Segoroyoso

Monumen Segoroyoso dibangun pada tahun 1983 untuk memperingati aktivitas Presiden Suharto masa perang kemerdekaan. Tulisan yang ada di monumen berbunyi: Prasasti Segoroyoso tahun 1948-1949. Di tempat tersebut Komandan Wehrkreise III Letkol Suharto bersama-sama para pejuang pernah melakukan pertemuan untuk merencanakan persiapan dan menyusun strategi Serangan Umum 1 Maret 1949. Namun pertemuan tersebut mengalami kegagalan karena apa yang direncanakan Letkol Suharto dengan para pejuang diketahui oleh mata-mata Belanda. Monumen Segoroyoso menghadap arah selatan terdiri dari sebuah bangunan rumah dan pendopo. Kondisi bangunan pendopo pada saat ini hanya tersisa batur. Bangunan rumah berdenah pergi panjang dengan ukuran 7,20 m x 5,30 m.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Rumah Singgah Gerilya Jenderal Sudirman

Rumah Singgah Gerilya Jenderal Sudirman adalah rumah yang digunakan sebagai tempat singgah Jenderal Sudirman ketika perjuangan gerilya melawan penjajah Belanda tahun 1948. Rumah tersebut secara administratif berada di Dusun Grogol IX, Parangtritis, Kretek, Bantul. Bangunan menghadap ke arah selatan. Rumah terdiri atas pendopo, longkangan, dalem, dan pekiwan. Rumah milik mantan Lurah Parangtritis Hadi Darsono merupakan salah satu bangunan berlanggam Jawa di Dusun Grogol IX yang pernah disinggahi Jenderal Sudirman dalam rute gerilyanya.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Sendang Seliran

Sendang Seliran adalah kolam pemandian yang terletak di sebelah selatan kompleks Makam Raja-raja Mataram Kotagede. Sendang Seliran dan kompleks makam dipisahkan oleh tembok dan dihubungkan dengan gapura paduraksa. Berdasarkan cerita rakyat, Sendang Seliran dibangun oleh Ki Ageng Mataram (Ki Ageng Pemanahan) dan Panembahan Senopati. Terdapat sengkalan yang berbunyi toya salira sembah jalmi (1284 H = 1867 M). Angka tahun tersebut diperkirakan memperingati perbaikan kompleks kolam, sebab apabila dimaksudkan sebagai tahun pemerintahan Panembahan Senopati tidak sesuai karena Panembahan Senopati wafat tahun 1601 M. Sendang Seliran merupakan salah satu bagian dari Masjid Makam Kotagede yang masih asli dan merupakan peninggalan dari Kerajaan Mataram Islam yang masih dapat ditemui pada saat ini.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Omah Demamit

Omah Demamit merupakan bangunan tinggalan zaman Belanda di Kabupaten Bantul. Omah Demamit berada di pekarangan rumah Bapak Agus Subiyanto. Berdasarkan informasi warga setempat yang bernama Ibu Sukari (75 tahun), bangunan tersebut difungsikan sebagai tempat untuk menyimpan senjata dan bahan peledak pada zaman Belanda sehingga warga sekitar menyebutnya dengan nama “omah demamit”. Omah Demamit mempunyai bentuk persegi dengan atap melengkung. Omah Demamit berukuran panjang 288 cm, lebar 288 cm, tinggi atap 335 cm, tinggi dinding 230 cm, tebal dinding 33 cm dan menghadap ke timur.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Kolam Renang John Kersch

Kolam Renang John Kersch di Padukuhan Mancingan, Kalurahan Parangtritis, Kapanewon Kretek, Kabupaten Bantul.Kolam ini merupakan pemandian yang airnya bersumber dari mata air di lereng bukit di sisi utara pantai. Air dari mata air dialirkan ke kolam menggunakan pipa yang berujung di dinding kolam sisi barat-utara Di sebelah utara kolam terdapat rumah tinggal pengelola kolam renang serta bangunan tempat bilasan yang saat ini berfungsi sebagai kamar mandi. John Kersch adalah mantan masinis pabrik gula di Pleret, Bantul (Pabrik Gula Kedaton Pleret). Pada tahun 1912 John Kersch meminta izin menetap dan izin usaha di Pantai Parangtritis (sebelah barat Pantai Parangtritis) kepada pemerintah Hindia Belanda karena tempat tinggalnya di Kampung Jayaningratan terkena proyek pelebaran Kantor Pegadaian Gondokusuman. Permohonan John Kersch disetujui oleh Gupremen (Gouvernement). John Kersch kemudian membeli lahan di sebelah barat Pesanggrahan Parangtritis dari warga Dukuh Mancingan. Kolam Renang John Kersch merupakan bukti arkeologis yang menunjukkan sejarah pembentukan pariwisata di Wilayah Parangtritis yang masih digunakan hingga saat ini (living monument).

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Bangunan Cagar Budaya Kamar Mandi Kolam Renang John Kersch

Kamar Mandi Kolam Renang John Kersch merupakan fasilitas dari Kolam Renang John Kersch. Kamar mandi kolam renang terletak dalam kawasan Pantai Parangendog,yang berada di sisi timur Pantai Parangendog. Kamar mandi merupakan salah satu kelengkapan dari struktur Kolam Renang John Kersch yang terdiri dari satu bangunan penginapan modern yang terletak di sebelah timur kolam renang, satu bangunan kamar mandi di sebelah utara kolam renang, dan dua bangunan penginapan yang juga terletak disebelah utara kolam renang. Kamar mandi kolam renang berada di sebelah utara kolam renang, dan sebelah barat penginapan kolam renang. Bangunan kamar mandi menghadap bagian belakang bangunan penginapan tersebut. Kamar mandi kolam renang memiliki komponen berupa bangunan kamar mandi, sebuah sumur, dan sebuah kulah kamar mandi tanpa atap

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Pagar Kompleks Kolam Renang John Kersch

Pagar Kompleks Kolam Renang John Kersch merupakan bagian dari kompleks Kolam Renang John Kersch. Struktur pagar kolam renang berada di dalam kawasan Pantai Parangendog, yang terletak pada di sisi timur Pantai Parangendog. Pagar kolam renang berjumlah tiga buah, yakni pagar yang berada di sisi timur, selatan dan barat Kolam Renang John Kersch. Pagar Kompleks Kolam Renang John Kersch dikelola oleh Mbah Surip dan cucunya yang bernama Lindung.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya SD N 1 Pundong

Bangunan SD N 1 Pundong dibangun pada tahun 1919, artinya bangunan tersebut dibangun pada zaman penjajahan Belanda. Informasi dari Pemerintah Desa Srihardono diketahui bahwa SD N 1 Pundong mulai digunakan pada tanggal 19 Juni 1919. Pada saat itu sekolah tersebut hanya diperuntukan bagi kaum bangsawan dan bangsa Belanda. SD N 1 Pundong adalah kompleks yang terdiri dari beberapa bangunan dan struktur yang saat ini berfungsi sebagai sekolah. Bangunan yang menunjukkan karakteristik bangunan kuno adalah sebuah bangunan utama yang digunakan untuk kelas-kelas. Posisi bangunan berada persis di tengah kompleks. Denah bangunan berbentuk persegi panjang berukuran 39,6 m x 6,48 m, sedangkan arah hadapnya mengarah ke utara.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Rumah Tradisional Milik Setyo Pranyoto

Rumah Tradisional Milik Setyo Pranyoto menghadap ke arah selatan. Halaman depan berupa pekarangan yang cukup luas. Pekarangan ini ditanami berbagai macam pohon dan dibatasi pagar dari pasangan bata berplester semen. Kompleks rumah tersebut terdiri atas beberapa bagian yaitu pendopo, pringgitan, dalem, longkangan, dan pawon. Joglo dibangun oleh Prawiro Diharjo, orang tua dari Ibu Subiratun. Prawiro Diharjo adalah kakek dari Setyo Pranyoto. Prawiro Diharjo dulu menjabat sebagai Mantri Tani. Prawiro Diharjo oleh masyarakat sekitar dikenal sebagai Den Bei, yang dermawan karena sering menampung orang yang membutuhkan tempat tinggal, membagi makanan. Pada masa perjuangan Prawiro Diharjo menyediakan dapur umum bagi para pejuang yang mempertahankan jembatan Bantar di Sedayu melawan penjajah Belanda.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Song Kamal

Istilah song berarti ceruk, lubang, liang, atau gua. Song digunakan sebagai tempat berteduh karena bentuknya yang menyerupai payung. Ceruk tersebut diberi nama Song Kamal karena di depan ceruk tersebut tumbuh pohon asam (kamal).
Song Kamal merupakan sebuah ceruk yang terletak di tebing kaki bukit. Mulut ceruk menghadap arah timur laut. Ceruk memanjang dari arah barat ke timur. Kedalaman ceruk bervariasi, lebih kurang sekitar 2-3 m. Lebar ceruk sekitar 31 m. Tinggi ceruk diukur pada mulutnya 4, 18 m. Di bagian mulut ceruk terdapat balok-balok batu andesit sebanyak tiga susun yang digunakan sebagai tangga.Song Kamal pernah digunakan sebagai tempat persembunyian serta tempat tinggal oleh Kyai dan Nyai Resmi ketika menjadi pelarian dari Kerajaan Majapahit yang runtuh.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Rumah Tradisional Jawa Milik Cokro Subroto

Rumah tradisional Cokro Subroto dibangun oleh Cokro Subroto, orang tua dari Bapak Abdul Kahar. Cokro Subroto dahulu menjabat sebagai Lurah Kalurahan Payak (lama) dan Lurah Kalurahan Srimulyo. Bangunan gandok kiwa rumah milik Cokro Subroto bahkan pernah digunakan sebagai kantor lurah Kalurahan Payak pada tahun 1946. Rumah tradisional milik Cokro Subroto menghadap ke arah selatan. Halaman depan berupa lantai plesteran semen yang biasanya digunakan untuk menjemur padi atau kegiatan yang bersifat publik. Halaman sisi barat, utara, dan timur dibatasi pagar dari pasangan bata berplester. Rumah Cokro Subroto terdiri atas beberapa bagian yaitu pendopo, longkangan, pringgitan, dalem, gandhok kiwa, dan pawon.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Makam Sunan Geseng

Makam Sunan Geseng merupakan makam tokoh penting yang berperan dalam penyebaran agama Islam di Piyungan dan diyakini oleh masyarakat sebagai murid dari Sunan Kalijaga. Jirat Makam Sunan Geseng berukuran 186 cm x 100 cm, serta tingginya 63, 5 cm. Lebar bahu jirat 40 cm. Tinggi nisan 29, 5 cm. Saat ini kijing diselimuti dengan kain putih (langsé) serta ditutup dengan kerangka berkelambu. Kain putih yang digunakan untuk menyelimuti jirat tidak pernah diganti tetapi terus ditambahkan sehingga kain tersebut menjadi berlapis-lapis.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Rumah Singgah Soedirman

Rumah Singgah Soedirman merupakan tempat singgah Soedirman terakhir saat melakukan strategi geriliya sebelum Soedirman kembali ke Yogyakarta pada masa perjuangan mempertahankan kemerdakaan pada 10 Juli 1949. Rumah Singgah Soedirman menghadap ke selatan. Halaman depan berupa pekarangan yang cukup luas. Pekarangan ini dibatasi pagar dari pasangan bata berplesteran semen. Bangunan hanya tersisa bagian pendopo dengan atap limasan dan sisa struktur teras. Di samping kiri pendopo terdapat bangunan dengan atap kampung.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Benda Cagar Budaya Makam KRT Mangunnegoro Bupati Bantul Pertama

KRT Mangunnegoro merupakan Bupati Kabupaten Bantul pertamayang di makamkan di Dusun Pager Gunung I, Sitimulyo, Piyungan, Bantul, DI Yogyakarta. Makam Bupati Bantul I ini awalnya berada di luar kompleks. Tetapi setelah direhab pada tahun 1999, makam ini masuk dalam satu kompleks dengan makam Ki Ageng Karutangan dan Joko Pagergunung.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Agastya Nomor Inventaris BG. 1815

Arca Agastya Nomor Inventaris BG. 1815 Koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan bukti arkeologis serta sebagai bukti sejarah yang memberikan data dalam menjelaskan kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Hindu di wilayah Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Bodhisattwa Padmapani Nomor Inventaris BG.575

Arca Bodhisattwa Padmapani (BG. 575) Koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan bukti arkeologis serta sejarah yang memberikan data dalam menjelaskan tentang kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Buddha di wilayah Dusun Watusoko, Desa Argodadi, Kecamatan Sedayu, Kabupaten Bantul. Arca digambarkan berdiri dalam sikap samabhanga yaitu sikap badan dalam posisi berdiri tegak, serta garis tubuh dari atas ke bawah lurus. Di bagian belakang kepala arca terdapat bekas patahan yang diperkirakan merupakan sirascakra, atau lingkaran penanda kedewaan. Pada dahi arca terdapat titik di tengah (urna). Mata arca setengah tertutup serta memandang ujung hidung. Arca digambarkan memiliki telinga panjang.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Dhyani Buddha Wairocana Nomor Inventaris BG. 1470 b

Arca Dhyani Buddha Wairocana (BG. 1470b) Koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta digambarkan dengan sirascakra (lingkaran kedewaan) di belakang kepala, rambut ikal disanggul di atas kepala (ushnisa), titik di tengah dahi (urna), mata setengah tertutup memandang ujung hidung, serta telinga panjang. Arca digambarkan duduk di atas padmasana paryankasana, yakni posisi duduk di atas lapik berbentuk teratai mekar dalam meditasi, sikap tangan bodhyagrimudra yaitu telunjuk jari tangan kanan digenggam oleh tangan kiri sedangkan keempat jari lainnya ditekuk, yang melambangkan perputaran roda dharma atau roda kehidupan.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Dhyani Buddha Wairocana Nomor Inventaris BG.1470 c

Arca Dhyani Buddha Wairocana (BG. 1470c) Koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta digambarkan duduk di atas alas berbentuk teratai (padmasana) dalam posisi duduk meditasi paryankasana (kedua kaki dilipat, kaki kanan di atas kaki kiri), sikap tangan bodhyagrimudra yang melambangkan perputaran roda dharma atau roda kehidupan. Landasan arca dihias dengan lubang berbentuk dua lingkaran di setiap sisinya. Mata setengah tertutup memandang ujung hidung. Rambut ikal disanggul di atas kepala (ushnisa), terdapat titik di tengah dahi (urna), dan telinga panjang memakai subang. Di belakangnya terdapat sandaran arca (stella) yang dihias dengan prabha berbentuk stiliran lidah api. Arca Dhyani Budha Vairocana (BG. 1470c) dibuat dari bahan perunggu dengan teknik cetak susut lilin (a cire perdue).

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Bodhisattwa Candralokeswara Nomor Inventaris BG.1469

Arca Bodhisattwa Candralokeswara (BG. 1469) digambarkan memiliki sirascakra (lingkaran kedewaan di belakang kepala), berdiri dalam posisi tribhanga di atas lapik batu memegang tangkai bunga padmā di tangan kiri serta tangan kanan dalam sikap kantari-mudrā, yakni tangan berada pada ketinggian yang sama dengan bahu, ibu jari dan jari manis dipertemukan serta jari telunjuk dan jari tengah diluruskan menyerupai tanduk rusa, sedangkan jari kelingking sedikit melengkung di buku-buku jarinya. Di sisi kanan bawah arca terdapat vas bunga.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Jambhala Nomo Inventaris BG.1474

Arca Jambhala Nomor Inventaris BG. 1474 Koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan bukti arkeologis yang menjadi bagian tidak terpisahkan dari Candi Gampingan serta sebagai bukti sejarah yang memberikan data dalam menjelaskan kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Buddha di wilayah Dusun Gampingan, Pedukuhan Monggang, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Cincin Emas Nomor Inventaris BG.1475

 

Cincin Emas Nomor Inventaris BG. 1475 Koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan salah satu temuan pada kegiatan ekskavasi di Candi Gampingan. Cincin Emas Nomor Inventaris BG. 1475 Koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan bukti arkeologis serta sejarah yang memberikan data untuk menjelaskan kehidupan masyarakat pada masa Jawa Kuno, khususnya penganut agama Buddha di wilayah Gampingan Pedukuhan Monggang, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Siwa dan Parwati Nomor Inventaris BG.1252

Koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan bukti arkeologis serta sebagai bukti sejarah yang memberikan data dalam menjelaskan kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Hindu di Sampangan, Mantup, Desa Baturetno, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Siwa  Nomor Inventaris BG.349

Arca Siwa Nomor Inventaris BG. 349 digambarkan duduk di atas padmasana yakni tempat duduk berbentuk bunga teratai, serta berada dalam posisi vajrasana, yaitu dalam posisi bersila dengan kaki kiri ditumpangkan ke atas paha kanan. Siwa digambarkan bertangan empat. Tangan kanan belakang Siwa membawa aksamâlâ (tasbih), tangan kiri belakang memegang camara (kebut lalat), tangan kanan bersikap varamudra (sikap tangan memberi hadiah, telapak tangan dalam sikap terbuka, diarahkan ke bawah), serta tangan kiri depan diletakkan di atas pangkuan dan menghadap ke atas membawa bivalfala (kawista/ wood apple).

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Koleksi Emas Nomor Inventaris BG.1471 a-i

Koleksi Emas Nomor Inventaris BG. 1471 a-i Koleksi Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta berjumlah sembilan (9) buah yang bentuk dan ukurannya bervariasi. Koleksi Emas ditemukan dalam kotak pripih. Koleksi Emas (BG. 1471 a-i) merupakan bukti arkeologis serta sejarah yang memberikan data dalam menjelaskan tentang kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Buddha di wilayah Gampingan, Desa Sitimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya  Pasar Sungapan

Pasar Sungapan memiliki arti khusus bagi sejarah yang berkaitan erat dengan tahap perkembangan pada masa Kolonial dalam bidang penerapan teknologi yaitu penggunaan baja profil untuk bangunan los Pasar Sungapan. Detail konstruksi bangunan pasar menggunakan baja profil. Baja profil merupakan salah satu material konstruksi yang memiliki tingkat ketahanan yang tinggi, sehingga dapat menjaga bangunan tetap berdiri kokoh, bertahan hingga ratusan tahun.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Rumah Indis Milik Bapak Muhadi Djajus

Rumah Indis Milik Bapak Muhadi Djajus di Padukuhan Karangasem, Kalurahan Sitimulyo, Kapanewon Piyungan, Kabupaten Bantul merupakan bukti arkeologis dan sejarah yang memberikan data dalam menjelaskan pengaruh kebudayaan Indis di Kalurahan Sitimulyo, Kapanewon Piyungan, Kabupaten Bantul. Rumah Indis Milik Bapak Muhadi Djajus di Padukuhan Karangasem, Kalurahan Sitimulyo, Kapanewon Piyungan, Kabupaten Bantul menghadap selatan. Atap bangunan berbentuk limasan model cere gancet. Bangunan rumah berukuran 9,6 m x 13,1 m, serta tinggi dindingnya 3,70 m. Di bagian depan rumah terdapat undakan tangga berjumlah dua buah yang tertutup oleh keramik berwarna krem

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya SD Kanisius Ganjuran

Bangunan SD Kanisius Ganjuran merupakan bangunan dengan arsitektur campuran arsitektur Jawa dan Kolonial. Banunan menghadap ke arah barat. Bangunan berukuran 21 m x 7, 26 m. Bangunan dibagi menjadi tiga ruang, yakni dua ruang kelas dan satu ruang guru. Bangunan SD Kanisius Ganjuran merupakan salah satu dari 12 sekolah yang didirikan oleh keluarga Schmutzer (pendiri PG Gondanglipuro, Bambanglipuro). Sekolah ini didirikan pada tahun 1926 dengan nama Volkschool (SD bawah) untuk putri, kemudian dikelola/diserahkan pada Yayasan Kanisius saat keluarga Schmutzer kembali ke Belanda pada tahun 1942 saat agresi Jepang ke Indonesia.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Penginapan John Kersch 

Penginapan John Kersch terletak dalam kawasan Pantai Parangendog, yang berada di sisi timur Pantai Parangendog. Penginapan merupakan salah satu fasilitas kelengkapan yang ada dalam kompleks Kolam Renang John Kersch. Kompleks Kolam Renang John Kersch terdiri dari kolam renang di sebelah selatan bangunan penginapan, satu bangunan penginapan modern yang terletak di sebelah timur kolam renang, serta satu bangunan kamar mandi di sebelah utara kolam renang. Penginapan John Kersch merupakan bangunan yang masih difungsikan hingga saat ini (living monument). Bangunan ini memiliki nilai penting yang menunjukkan pola adaptasi, pengembangan ekonomi, dan standar gaya hidup pejabat Belanda yang tinggal di Parangtritis.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Bangunan Cagar Budaya Rumah Tradisional Milik Bapak Raditya Wahyu Kumara

Rumah Tradisional milik Bapak Raditya Wahyu Kumara menghadap ke selatan. Halaman depan berupa pekarangan yang cukup luas. Pekarangan ini dibatasi pagar dari pasangan bata berplesteran semen. Bangunan terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pendopo dengan dua atap limasan, pringgitan dengan atap limasan, dalem dengan atap joglo, gandok kiwa dengan atap limasan, dua bangunan di kanan-kiri dalem dan pringgitan dengan atap limasan, bangunan di antara gandok kiwo dan bangunan di samping pringgitan terdapat bangunan dengan atap kampung dan pawon beratap kampung. Rumah Tradisional milik Bapak Raditya Wahyu Kumara dibangun oleh Bapak Setyo Utomo pada tahun 1920-an. Rumah tersebut digunakan untuk rumah tinggal dan kantor Kelurahan Srigading pada 18 Desember 1946, yang merupakan gabungan dari empat kelurahan lama yakni Kelurahan Kalijurang, Kelurahan Srabahan, Kelurahan Pugeran dan Kelurahan Gunungwingko.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Goa Selarong Kakung 

Gua Selarong Kakung secara administratif berada di Padukuhan Kembangputihan, Kalurahan Guwosari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul. Gua tersebut berada di tebing kaki Bukit Selarong. Gua Selarong Kakung diperkirakan merupakan gua yang telah ada di zaman Hindu sebelum Pangeran Diponegoro menggunakannya sebagai salah satu tempat tirakatnya. Gua kemudian diperbarui (diperluas) oleh para pengikut Pangeran Diponegoro karena sering digunakan oleh Pangeran Diponegoro. berdasarkan data arkeologis Gua Selarong Kakung merupakan gua yang dibuat pada masa klasik, yakni berkembangnya Agama Hindu di Jawa pada abad ke-8 hingga ke-10 Masehi. Selain itu gua merupakan bagian dari tanah lungguh Pangeran Diponegoro serta dimanfaatkan sebagai tempat semadi dan bagian dari markas pertama dalam Perang Jawa (1925-1930).

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Goa Selarong Putri

Gua Selarong Putri memiliki peranan penting sebagai bagian dari markas pertama bagi perjuangan Pangeran Diponegoro dalam melawan Belanda. Gua Selarong Putri secara administratif berada di Padukuhan Kembangputihan, Kalurahan Guwosari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul. Gua tersebut berada di tebing bukit Selarong.
Posisi gua memanjang dari barat ke timur. Mulut gua menghadap ke arah selatan, berukuran panjang 9,85 m dan tinggi 1,4 m. Kedalaman gua 7,54 m dan ketinggian gua bagian dalam 2,52 m. Keadaan di dalam Gua Selarong Putri berupa runtuhan batuan kapur yang terkikis oleh air dan akar pohon yang menjalar hingga ke dalam gua. Gua Selarong Putri terbentuk secara alamiah.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Yoni Nomor Inventaris C.93 a

Yoni berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kandungan atau Rahim atau sebagai lambang wanita. Yoni merupakan simbol dari Dewi Parwati, yakni pasangan/sakti dari Dewa Siwa yang merupakan dewa tertinggi dalam agama Hindu. Yoni Nomor Inventaris C.93a di Padukuhan Kembangputihan, Kalurahan Guwosari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul merupakan bukti arkeologis dan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Hindu di Padukuhan Kembangputihan, Kalurahan Guwosari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Yoni Nomor Inventaris C.93 b

Yoni Inventaris C.93b di Padukuhan Kembangputihan, Kalurahan Guwosari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul merupakan bukti arkeologis dan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Hindu di wilayah Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul. Yoni ditemukan di kebun milik Toyono yang berada di bukit di sebelah selatan Gua Selarong. Yoni tercatat dalam Herinventarisasi Cagar Budaya di Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul Tahun 2016 BPCB Provinsi DIY dengan Nomor Inventaris C.93b. Ketika disurvei oleh TIM TACB Bantul pada tanggal 3 Februari 2021, Yoni Inventaris C.93b di Padukuhan Kembangputihan, Kalurahan Guwosari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul masih berada di tempatnya sebagaimana tercatat dalam Herinventarisasi.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Yoni Nomor Inventaris C.93 c

Yoni Nomor Inventaris C. 93c terletak di kebun milik Toyono di bukit sebelah selatan Gua Selarong. Yoni ditempatkan dengan posisi tegak/ tidak terjungkir sehingga lubang yang ada di tengah yoni kelihatan. Yoni masih utuh dengan ceratnya. Pada bagian tengah yoni terdapat hiasan berupa lis. Yoni Nomor Inventaris C.93c di Padukuhan Kembangputihan, Kalurahan Guwosari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul merupakan bukti arkeologis dan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Hindu di wilayah Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Batu Monolit No. Inventaris C.93 d

Batu Monolit Nomor Inventaris C.93d terletak di kebun milik Toyono yang berada di atas bukit di sebelah selatan Gua Selarong. Batu monolit memiliki profil lis di bagian kakinya. Di atas lis terdapat profil ojief atau genta. Di ketiga sisi batu terdapat hiasan ceplok bunga. Pada bagian atas batu monolit terdapat bekas terpotong yang tidak sempurna sampai kaki batu monolit. Batu Monolit Nomor Inventaris C.93d merupakan bukti arkeologis dan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Hindu di wilayah Kalurahan Guwosari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul. Hal ini ditandai adanya temuan-temuan lain di sekitar tempat itu berupa Yoni.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Yoni Nomor Inventaris C.94

Yoni Nomor Inventaris C.94 terletak di depan Gua Kakung dan ditempatkan di sebelah barat mulut gua. Yoni ditemukan dalam keadaan terjungkir sehingga lubang yang ada di tengah yoni tidak terlihat. Cerat yoni patah. Pada keempat sisi yoni terdapat hiasan berupa ceplok bunga. Tubuh yoni sudah banyak yang cuwil, serta pada alas yoni terdapat goresan-goresan.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Yoni Nomor Inventaris C.95

Yoni Nomor Inventaris C.95 di Padukuhan Kembangputihan, Kalurahan Guwosari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul merupakan bukti arkeologis dan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Hindu di wilayah Desa Guwosari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul. Yoni Nomor Inventaris C.95 terletak di depan Gua Kakung dan ditempatkan di sebelah timur mulut gua. Posisi yoni terjungkir sehingga lubang di tengah yoni tidak terlihat. Cerat yoni patah seluruhnya. Pada bagian sisi yoni terdapat hiasan berupa lis. Salah satu sudut bawah yoni sedikit rompal

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Yoni Nomor Inventaris C.96

Yoni Gua Selarong Nomor Inventaris C.96 terletak di sebelah timur Gua Kakung. Yoni ditempatkan dengan posisi terjungkir sehingga lubang yang ada di tengah yoni tidak kelihatan. Cerat yoni patah namun masih tersisa lubang untuk mengalirkan air dari tengah yoni. Permukannya tidak rata dan rompal yang diduga karena yoni digunakan sebagai untuk wungkal. Terdapat lis pada bagian sisi yoni dengan bibir 8 cm. Saat ini yoni dicat hitam. Yoni merupakan salah satu benda peninggalan agama Hindu yang telah berkembang di Jawa pada abad ke-8 hingga ke-10.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Rumah Tradisional Jawa Eks Kantor Kalurahan Ngoto

Rumah Tradisional Jawa Eks Kantor Kalurahan Ngoto merupakan rumah tinggal milik Bapak Soetino, yang saat ini ditempati oleh Priyo Nugroho. Bangunan rumah menghadap ke arah selatan, berada di sebelah barat Jalan Imogiri Barat, kurang lebih 20 m. Rumah tersebut merupakan bangunan tradisional di Kabupaten Bantul yang memiliki keterkaitan dengan sejarah Kalurahan Ngoto serta perang mempertahankan kemerdekaan (Agresi Militer Belanda II tahun 1949). Hingga saat ini masih asli dan biasa digunakan untuk kegiatan kemasyarakatan.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Rumah Tradisional Jawa Eks Kantor Kalurahan Kedungmiri 

Rumah tradisional Jawa eks Kantor Kalurahan Kedungmiri merupakan hak milik Bapak R. Sukandar, yang merupakan mantan Camat Pajangan dan Imogiri. Rumah tradisional milik Bapak R Sukandar ini dibangun sekitar tahun 1933. Saat ini, rumah tersebut tidak dihuni oleh pemiliknya, hanya ditunggui oleh saudaranya yaitu keluarga Bapak Ngadiyo. Rumah tradisional Jawa milik R. Sukandar pernah dipakai untuk Kantor Kalurahan Kedungmiri dan pernah digunakan sebagai tempat persinggahan pejuang /gerilyawan pada masa perang mempertahankan kemerdekaan (Agresi Militer Belanda II tahun 1949). Pendapa tersebut hingga saat ini masih digunakan untuk arisan warga dan latihan gejog lesung.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Rumah Tradisional Jawa Eks Kantor Kalurahan Blawong

Bangunan Tradisional Jawa milik Sudiyono dan dikelola Suharyono (kakak Sudiyono) dengan alamat Padukuhan Bulu, RT 02 Kalurahan Trimulyo, Kapanewon Jetis, Kabupaten Bantul merupakan Eks Kantor Kalurahan Blawong sebelum bergabung dengan Kalurahan Karangsemut dan Kalurahan Ponggok menjadi Kalurahan Trimulyo pada tanggal 27 November 1946. Rumah Tradisional Jawa eks Kantor Kalurahan Blawong menghadap ke arah selatan

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Rumah Tradisional Jawa Eks Kantor Kalurahan Karangtengah 

Rumah tradisional Jawa eks Kantor Kalurahan Karangtengah merupakan hak milik Bapak M. Jinu Sugiyono (75 tahun). Bapak M. Jinu Sugiyono adalah mantan Lurah Karangtengah ke-4 yang menjabat tahun 1996 sampai dengan 2006. Rumah tersebut dibangun tahun 1920 oleh R. Mangun Sugiyono, orangtua Bapak M. Jinu Sugiyono yang menjabat sebagai Carik pertama di Kalurahan Karangtengah. Tanah tempat rumah tersebut berdiri adalah warisan dari orangtua R. Mangun Sugiyono yang saat itu menjabat sebagai Bekel. R. Mangun Sugiyono adalah seorang punggawa Kasunanan Surakarta, yang ditugaskan ke Kabupaten Klaten. Selanjutnya, Bupati Klaten menugaskan R. Mangun Sugiyono ke Kawedanan Imogiri untuk menjadi carik pertama di Karangtengah. Rumah tersebut digunakan sebagai kantor kalurahan pertama Karangtengah pada 23 Desember 1923, dengan menggunakan gandok bagian depan untuk kantor dan pendapa untuk tempat pertemuan.
Pada tahun 1948 ketika terjadi Agresi Militer Belanda I, rumah tersebut pernah menjadi markas gerilya Tentara Nasional Indonesia. Bahkan pernah disinggahi Letnan Komarudin, mantan prajurit PETA yang menjabat komandan peleton di SWK 101, Brigade X pimpinan Mayor Sardjono (anak buah Letnan Kolonel Soeharto).

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Rumah Tradisional Jawa Eks Kantor Kalurahan Mojohuro

Rumah Tradisional Jawa Eks Kantor Kalurahan Mojohuro menghadap ke arah selatan. Rumah berada di sebelah timur, kurang lebih 100 m dari kantor Desa Sriharjo. Rumah diperkirakan dibangun oleh Tirto Utomo, kakek buyut dari keluarga Bapak Sulistiyadi Eko Putro. Tirto Utomo pada saat itu menjabat sebagai Lurah Mojohuro. Pada tahun 1946 terbentuk Desa Sriharjo yang merupakan penggabungan tiga Kalurahan lama, yaitu Kalurahan Mojohuro, Kalurahan Dogongan, dan Kalurahan Kedungmiri. Lurah pertama Desa Sriharjo adalah Sosro Miharjo, anak dari Tirto Utomo. Sejak tahun 1946 hingga tahun 1980-an, pendapa rumah tersebut menjadi Kantor Kalurahan Sriharjo. Selain menjadi kantor kalurahan, juga digunakan untuk sekolah SD Tunggalan I dan II selama tahun 1960 hingga 1970-an. Pada masa perang mempertahankan kemerdekaan (Agresi Militer Belanda II tahun 1949), pernah digunakan untuk tempat singgah para gerilyawan. Hal ini dikuatkan dengan pernah ditemukannya granat di pekarangan rumah tersebut.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Los Pasar Pundong

Pasar Pundong berada di persimpangan simpul utama jalan di Kapanewon Pundong. Pasar Pundong cukup luas dan ramai, terdaftar sekitar 400 orang pedagang/penjual yang berjualan di Pasar Pundong. Bangunan Los Pasar Pundong tidak memiliki ragam hias, baik yang berupa ragam hias arsitektur maupun ragam hias dekoratif. Pengaruh arsitektur Eropa ditunjukkan dari penggunaan konstruksi baja yang diproduksi oleh perusahaan milik Belanda. Pengaruh arsitektur Jawa dapat dilihat dari atap kampung atau atap bentuk pelana dengan penutup atap genteng dari bahan tanah liat. Sejarah pasar di Indonesia dimulai dari aktivitas jual beli kecil-kecilan di tepi jalan, dan umumnya di bawah pohon rindang. Kawasan tersebut dari hari ke hari terus berkembang seiring dengan semakin banyaknya orang yang berjualan dan masyarakat yang membeli. Dalam Gegevens Over van Djogjakarta (L.F.Dingemans,16;1925) disebutkan bahwa terdapat 129 buah pasar milik Kasultanan Yogyakarta dan 18 buah milik Pura Pakualaman. Dari beberapa sumber sejarah seperti plakat yang ditemukan di pasar, pembangunan pasar ini dibangun oleh N.V. Constructie Atelier Der Vorstenlanden Djokjakarta sementara material pasar disediakan oleh N.V. Braat perusahaan baja yang didirikan pada tahun 1901 dan berpusat di Gatotan, Surabaya (kini menjadi PT Barata).

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Masjid Banyusumurup

Masjid Banyusumurup dibangun pada zaman Sunan Amangkurat Agung (1645-1677). Hal demikian didasarkan pada catatan sejarah bahwa Pangeran Pekik tewas atau meninggal karena dihukum mati oleh Sunan Amangkurat Agung. Pangeran Pekik, keluarga dan pengikutnya kemudian dimakamkan di Makam Banyusumurup. Makam tersebut dilengkapi dengan pendirian masjid yang kemudian dikenal dengan nama Masjid Banyusumurup. Berdasarkan wawancara dengan takmir masjid yang bernama Rahmat Hidayat pada tahun 2012, disebutkan bahwa Masjid Banyusumurup diperkirakan berdiri tahun 1668 M. Jika penyebutan tahun ini memang benar, maka pendirian masjid persis di saat Sunan Amangkurat Agung memegang kendali pemerintahan Kerajaan Mataram pasca Sultan Agung. Saat ini Masjid Banyusumurup digunakan dalam kegiatan masyarakat, yakni sebagai tempat dilaksanakannya upacara ijab qobul, takjilan selama bulan puasa, pelepasan jenazah, pusat peringatan hari besar Agama Islam, dan majelis taklim. Masjid tersebut mempunyai arsitektur tradisional Jawa dengan tipe Tajug varian Lambang Teplok atau dikenal dengan Tajug Lambang Teplok. Atap terdiri dari brunjung, penanggap dan emper, atap emper hanya di bagian pawestren. Bangunan utama masjid berukuran 9,40 m x 9,40 m. Di sebelah timur terdapat serambi dengan ukuran 9,95 m x 4,60 m. Pawestren berada di sebelah selatan bangunan utama, berukuran 3,10 m x 9,40 m. Halaman Masjid Banyusumurup berukuran 22 m x 20,60 m.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Pintu Penahan Banjir Nambangan

Pintu Penahan Banjir Nambangan merupakan akses jalan yang menghubungkan antara Padukuhan Nambangan, Seloharjo dengan Padukuhan Nangsri, Srihardono, sekaligus berfungsi untuk menahan luapan air dari Sungai Opak. Nama Nambangan menunjuk lokasi penyeberangan sungai dengan menggunakan rakit yang mengikuti tambang (tali) yang dibentangkan di atas sungai. Pintu Penahan Banjir Nambangan diperkirakan dibangun pada masa yang sama dengan Pabrik Gula Pundong yang dibangun oleh Dorrepaal & Co pada tahun 1880. Menurut sumber setempat, dulunya Pintu Penahan Banjir Nambangan memiliki daun pintu yang terbuat dari kayu. Pada perkembangannya material pintu tersebut diganti dengan besi dan baja.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Gapuro Gedong Bagian Timur

Gapura Gedongkuning merupakan gapura yang dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwana II (yang memerintah pada tahun 1792-1812 dan 1826-1828), diperkirakan merupakan bagian dari kompleks pesanggrahan-pesanggrahan yang dibangun pada masa itu. Gapura Gedongkuning terdiri dari dua bagian, yakni gapura bagian timur dan gapura bagian barat. Keduanya terletak di Jurugentong Padukuhan Tegal Tandan, Kalurahan Banguntapan, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul. Saat ini sebagian gapura bagian timur masih insitu letaknya, yakni di sebelah utara Gang Harjuno yang terletak di sebelah timur Jalan Gedongkuning, sedangkan gapura bagian barat yang semula berada di Jalan Gedongkuning dipindahkan ke lokasi baru yang berjarak sekitar 35 meter ke arah timur dari lokasi aslinya.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Gapuro Gedong Bagian Barat

Gapura Gedongkuning merupakan gapura yang dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwana II (yang memerintah pada 1792-1812 dan 1826-1828), diperkirakan merupakan bagian dari kompleks pesanggrahan-pesanggrahan yang dibangun pada masa itu. Gapura Gedongkuning terdiri dari dua bagian, yakni gapura bagian barat dan gapura bagian timur. Keduanya terletak di Jurugentong Padukuhan Tegal Tandan, Kalurahan Banguntapan, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul. Saat ini gapura bagian barat sudah tidak insitu karena telah dipindahkan ke lokasi baru yang berjarak sekitar 35 meter ke arah timur dari lokasi aslinya, sedangkan gapura bagian timur sebagian masih insitu, yakni di sebelah utara Gang Harjuno yang terletak di sebelah timur Jalan Gedongkuning. Gapura Gedongkuning bagian barat terbuat dari bata berplester. Bagian tubuh gapura bagian barat terdiri dari dua pilar yang dihubungkan yang kondisinya cukup utuh.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Yoni Nomer Inventaris C.87

Yoni berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kandungan atau rahim atau sebagai lambang wanita. Yoni merupakan simbol dari Dewi Parwati, yakni pasangan/sakti dari Dewa Siwa yang merupakan dewa tertinggi dalam agama Hindu. Yoni di Karanggede ditemukan pada tahun 1983 oleh penduduk Dukuh Ngireng-ireng bernama Supartowiharjo ketika ia hendak menggali lubang sampah di pekarangannya. Yoni tersebut ditemukan di area makam dan tanah pekarangan yang di bagian tengahnya berupa gundukan tanah. Penemuan yoni kemudian ditindaklanjuti dengan ekskavasi untuk mengungkap jenis situs, sifat keagamaan, dan periodisasinya. Ekskavasi tersebut dilakukan oleh Suaka Peninggalan Sejarah dan Purbakala Yogyakarta (sekarang Balai Pelestarian Cagar Budaya) dalam tahun anggaran 1983/1984. Dalam kegiatan tersebut, ditemukan struktur dari batu andesit dan bata yang diperkirakan merupakan bagian dari bangunan pemujaan agama Hindu.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Yoni nomer Inventaris C.93

Yoni Nomor Inventaris C.93 di Padukuhan Kembangputihan, Kalurahan Guwosari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul terletak di sebelah barat daya Gua Selarong I. Yoni ditempatkan dengan posisi terbalik sehingga lubang yang ada di tengah yoni tidak kelihatan. Pada sisi-sisi yoni terdapat hiasan berupa profil berjumlah tiga buah. Selain itu juga terdapat profil sisi genta pada bagian atas dan bawah. Saat ini yoni ditempatkan/ditanam dalam posisi terbalik di dalam lantai gua dengan kedalaman sekitar 3 cm yang diperkuat dengan plesteran semen. Dengan adanya temuan Yoni Nomor Inventaris C.93, dapat diketahui bahwa di Desa Guwosari, Pajangan, Bantul pernah berkembang agama Hindu. Yoni Nomor Inventaris C.93 memperkuat temuan bercorak Hindu berupa arca Durga di Bantul yang pernah ditemukan dan dimuat dalam Rapporten van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie 1915 dengan Nomor Inventaris 1245. Dengan demikian, pada abad ke-8 sampai dengan abad 10 telah ada tinggalan agama Hindu di sekitar Bantul.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Tugu Peringatan Jumeneng Ke-40 Tahun Sri Susuhunan Paku Buwana X 

Tugu Peringatan Jumenengan Ke-40 Sri Susuhunan Paku Buwana X berada di halaman Masjid Pajimatan Imogiri. Bagian puncak tugu dihias dengan mahkota raja dan bagian kepalanya dipasang jam. Bagian leher tugu ini memiliki guratan berjumlah 40 yang menandakan masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana X dan 10 tingkat lingkaran yang melambangkan Sri Susuhunan Paku Buwana X, serta bagian tengah tugu terdapat prasasti berbahasa Jawa Baru yang dituliskan di atas marmer. Tugu Peringatan Jumenengan Ke-40 Sri Susuhunan Paku Buwana X didirikan di depan halaman sisi kiri Masjid Pajimatan Imogiri. Tugu ini dibangun pada tahun 1945 oleh para abdi dalem dan pangreh praja golongan kabupaten Makam Imogiri Surakarta. Pendirian tugu dilaksanakan sebagai bentuk persembahan para abdi dalem dan pangreh praja Makam Imogiri Surakarta kepada Sri Susuhunan Paku Buwana X sekaligus sebagai bentuk peringatan 40 tahun masa pemerintahan Sri Susuhunan Paku Buwana X yang merupakan salah satu raja dari Kasunanan Surakarta yang dimakamkan di Imogiri pada tahun 1939.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Struktur Cagar Budaya Gapuro Cendonosari 

Gapura Cendonosari di Padukuhan Wonocatur, Kalurahan Banguntapan, Kapanewon Banguntapan, Kabupaten Bantul saat ini sudah tidak insitu lagi. Letak asli Gapura Cendonosari berada 150 meter di sebelah barat dari kedudukan semula dan bergeser 28 meter ke tenggara dari posisi gapura semula. Gapura Cendonosari merupakan salah satu tinggalan cagar budaya masa Mataram Islam yang masih terawat. Gapura tersebut merupakan bagian dari kompleks Pesanggrahan Wonocatur (Goa Siluman) yang dibangun pada masa Sri Sultan Hamengku Buwana II (1750-1828).

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Sumur SD Kasihan

SD Negeri Kasihan di Dukuh Kasihan, Kalurahan Tamantirto, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul dibangun pada masa sebelum kemerdekaan. Sumur yang berada di kompleks tersebut diperkirakan dibangun bersamaan dengan pembangunan sekolah. Sumur berfungsi sebagai sumber air utama yang membantu memenuhi kebutuhan kebersihan warga sekolah. Sumur SD Negeri Kasihan berada dalam satu konteks yang sama dengan bangunan kelas dan kamar mandi SD Negeri Kasihan yang juga menunjukkan karakteristik cagar budaya.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya SMP Kanisius Bambanglipuro

Bangunan SMP Kanisius Bambanglipura merupakan salah satu sekolah yang didirikan pada masa kolonial, yakni pada tahun 1919 yang masih dimanfaatkan hingga saat ini. Bangunan tersebut beraksitektur Indis yang saat ini sudah tidak banyak ditemui di Bantul.  Kompleks bangunan SMP Kanisius Bambanglipura  terdiri dari empat bangunan utama yang mengelilingi taman pada keempat sisinya. Keempat bangunan tersebut terletak pada bagian utara, timur, selatan, dan barat. Bangunan yang terletak pada bagian selatan mempunyai karakteristik cagar budaya. Bangunan tersebut saat ini difungsikan sebagai ruangan bimbingan konseling, ruangan kepala sekolah, ruang penerima tamu, ruangan doa, ruangan guru, ruang kelas, ruangan unit kesehatan siswa, ruangan OSIS, dan gudang. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Rumah Sakit Santa Elizabeth

Kompleks Rumah Sakit Santa Elisabeth terdiri dari dua bangunan utama yang membujur ke arah timur barat. Di antara kedua bangunan utama tersebut, bangunan yang terletak di sudut barat daya Kompleks Rumah Sakit Santa Elisabeth Ganjuran menunjukkan karakteristik cagar budaya. Bangunan berkarakteristik cagar budaya tersebut saat ini digunakan sebagai Instalasi Rawat Jalan. Rumah sakit diresmikan pada tanggal 4 April 1930 dengan nama "Rumah Sakit Santa Elisabeth". Peresmian rumah sakit ini bertepatan dengan hari ulang tahun Ny. Schmutzer. Nama Santa Elisabeth dipilih sebagai penghormatan untuk Santa Elisabeth yakni puteri Hongaria dan Santa Katolik yang terkenal karena mengabdikan dirinya kepada orang-orang miskin dan selalu tabah dalam menghadapi cobaan hidup. Nama Santa Elisabeth ini juga dipilih dengan harapan bahwa orang-orang dapat meneladani kebaikan dalam hidupnya.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Nandi Nomor Inventaris C.102g

Arca Nandi Nomor Inventaris C.102 g di Padukuhan Mangir Lor, Kalurahan Sendangsari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul merupakan bukti arkeologis dan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Hindu di wilayah Kalurahan Sendangsari, Kapanewon Pajangan, Kabupaten Bantul. Arca Nandi tersebut digambarkan dalam bentuk zoomorfik. Berdasarkan keterangan warga, Arca Nandi tersebut belum pernah dipindahkan dari tempat ditemukannya. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Watu Gilang Nomor Inventaris C.124

Watu Gilang Nomor Inventaris C.124 diyakini sebagai batu tempat Danang Sutawijaya bersemedi ketika memohon perlindungan dari serangan Kerajaan Pajang. Watu tersebut berada di belik/mata air yang terdapat di hutan Wanalipura. Berdasarkan bentuk kenampakan Watu Gilang, diperkirakan bahwa batu tersebut dulunya merupakan bagian dari bangunan yang terbuat dari batu. Hal ini diketahui dari bagian takikan dan bekas pemangkasan pada Watu Gilang. Meskipun demikian asal Watu Gilang sulit untuk dilacak. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Yoni Nomor Inventaris C.62a

Yoni Nomor Inventaris C.62 a merupakan bukti arkeologis dan sejarah yang memberikan keterangan mengenai kehidupan pada masa Jawa Kuno, khususnya keberadaan masyarakat yang menganut agama Hindu di Masahan, Padukuhan Kraton, Kalurahan Mulyodadi, Kapanewon Bambanglipuro, Kabupaten Bantul. Yoni berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya kandungan atau rahim atau sebagai lambang wanita. Yoni merupakan simbol dari Dewi Parwati, yakni pasangan/sakti dari Dewa Siwa yang merupakan dewa tertinggi dalam agama Hindu. Yoni diwujudkan dalam bentuk batu yang dipahat persegi dengan lubang di tengah, cerat, dan lis profil. Lubang yoni digunakan untuk menempatkan lingga, sedangkan cerat dimaksudkan untuk mengalirkan air pada upacara keagamaan. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Prasasti Rumwiga I Nomor Inventaris BG. 637

Prasasti Rumwiga I Nomor Inventaris BG. 637 merupakan salah satu dari tiga prasasti dengan penamaan Rumwiga yang ditemukan di Dusun Gedongan, Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Prasasti Rumwiga I Nomor Inventaris BG. 637 diterakan pada lempengan tembaga berbentuk segi empat berukuran 32, 3 cm x 12, 2 cm x 0, 2 cm. Prasasti Rumwiga I Nomor Inventaris BG. 637 ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno di kedua sisinya. Sisi depan prasasti (recto) terdiri atas 11 baris dan sisi belakang prasasti (verso) terdiri dari 13 baris. Prasasti Rumwiga I ditemukan di Dusun Gedongan, Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul pada tahun 1981 bersama dengan dua lempengan prasasti lain yang kemudian disebut dengan Prasasti Rumwiga II A dan Prasasti Rumwiga II B. Prasasti Rumwiga I terdaftar dalam koleksi BPCB DIY pada 25 Agustus 1981 dengan Nomor Inventaris BG. 637. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Prasasti Rumwiga II B Nomor Inventaris BG. 638

Prasasti Rumwiga II B Nomor Inventaris BG. 638 merupakan salah satu dari tiga prasasti dengan penamaan Rumwiga yang ditemukan di Dukuh Gedongan. Prasasti II B BG. 638 diterakan pada lempengan tembaga berbentuk segi empat berukuran 39 cm x 21, 2 cm x 0, 23 cm. Prasasti Rumwiga II B Nomor Inventaris BG. 638 ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno, pada satu sisinya sebanyak 14 baris. Keterangan pada Prasasti Rumwiga II B Nomor Inventaris BG. 638 merupakan kelanjutan dari Prasasti Rumwiga II A 639.  Prasasti Rumwiga II B Nomor Inventaris BG. 638 merupakan sumber sejarah utama yang memberikan data mengenai kehidupan masyarakat di masa lalu terutama yang berkaitan dengan birokrasi dan pajak pada masa Mataram Kuno.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Prasasti Rumwiga II A Nomor Inventaris BG. 639

Prasasti Rumwiga II A Nomor Inventaris BG. 639 merupakan salah satu dari tiga prasasti dengan penamaan Rumwiga yang ditemukan di Dusun Gedongan, Desa Srimulyo, Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul. Prasasti Rumwiga II A Nomor Inventaris BG. 639 diterakan pada lempengan tembaga berbentuk segi empat berukuran 38, 3 cm x 16, 5 cm x 0, 3 cm. Prasasti Rumwiga II A Nomor Inventaris BG. 639 ditulis dengan aksara dan bahasa Jawa Kuno pada satu sisinya sebanyak 11 baris. Keterangan pada Prasasti Rumwiga II A Nomor Inventaris BG. 639 belum selesai dan dilanjutkan pada Prasasti Rumwiga II B. (BG. 638). Prasasti Rumwiga II A dituliskan pada masa pemerintahan Rakai Watukura Dyah Balitung. Meskipun demikian keputusan yang tertera di dalam prasasti dibuat dan disahkan oleh samgat (pejabat pemutus perkara) Pu Uttara dan Rakai Hino Daksa. Hal ini karena penduduk Rumwiga tidak mengajukan permohonan secara langsung kepada raja tetapi kepada Rakai Hino, yakni pejabat tinggi di bawah raja. Permohonan yang diajukan dalam Prasasti Rumwiga II A ialah perihal pengaturan pajak yang dirasa memberatkan rakyat. Pada tahun sebelumnya (904 Masehi) penduduk di Rumwiga telah mengajukan permohonan pengurangan pajak kejahatan dan memperoleh pengurangan sebesar 10 suwarna uang emas. Penduduk Rumwiga pun kembali mengajukan permohonan melalui Rakai Hino. Permohonan tersebut dikabulkan sehingga penduduk Rumwiga mengadakan upacara untuk penetapan keputusan baru.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Bangunan Kelas dan Kamar Mandi SD Kasihan

Bangunan Kelas dan Kamar Mandi SD Negeri Kasihan di Padukuhan Kasihan, Kalurahan Tamantirto, Kapanewon Kasihan, Kabupaten Bantul dibangun oleh Belanda sebelum masa kemerdekaan. Bangunan sekolah dibangun supaya kegiatan belajar mengajar dapat dilakukan secara mandiri. Hal ini karena sebelumnya SD Negeri Kasihan meminjam tempat (ngindhung) di rumah Kepala Dukuh karena belum memiliki tempat sendiri. Ketika SD Negeri Kasihan didirikan, SD hanya memiliki dua ruang kelas. Selain itu SD Negeri Kasihan hanya menyelenggarakan pendidikan hingga kelas. Oleh karena itu jika siswa hendak melanjutkan pendidikannya, maka ia dapat meneruskan di SD Jarakan (saat ini berada dalam Kapanewon Sewon) yang menyenggarakan pendidikan hingga kelas enam. Siswa SD Negeri Kasihan pada masa itu mengenakan pakaian berupa bebed dan udheng serta tidak semuanya mengenakan alas kaki.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)