Situs Cagar Budaya Komplek Makam Imogiri

Kompleks Makam Imogiri dibangun oleh Sultan Agung Hanyakrakusuma pada tahun 1632 M. Kompleks ini terletak di Gunung Merak dan lebih dikenal oleh masyarakat setempat dengan istilah Pajimatan karena dianggap sebagai jimat atau pusaka Kerajaan Mataram. Kompleks makam ini didirikan sebagai tempat pemakaman raja-raja Mataram beserta keturunannya, raja-raja Keraton Yogyakarta dan raja-raja Keraton Surakarta. Sultan Agung sebagai raja pertama yang dimakamkan di kompleks makam ini berada di tempat tertinggi dan dianggap paling sakral. Pada bagian timur dari kompleks maka Sultan Agung berderet makam raja-raja dari Keraton Yogyakarta. Bagian barat kompleks makam Sultan Agung berderet makam raja-raja dari keraton Surakarta. Kompleks makam Imogiri terdiri dari beberapa bangunan penting seperti masjid, pintu gerbang, kelir, nisan, masjid, dan kolam.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Panggung Krapyak

Panggung Krapayak berada di Dusun Krapyak, Kelurahan, Panggung Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Panggung Krapyak merupakan salah satu peninggalan dari Sultan Hamengku Bubuwana I. Bangunan yang didirikan sebagai tempat peristirahatan ketika raja melakukan perburuan ini didirikan pada tahun 1782. Bangunan ini memiliki keterkaitan yang erat dengan konsep kosmologi Kraton Yogyakarta semenjak awal pendiriannya. Bangunan ini berada dalam satu garis (sumbu imajiner) dari selatan ke utara. Tempat-tempat penting lainnya yang ada di sumbu imajiner tersebut adalah Laut Selatan di sebelah selatan, dan Alun-alun Selatan, Kraton Yogyakarta, Alun-alun Utara, serta Gunung Merapi di sebelah utara.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Dam Kamijoro

Dam Ngantru-Kamijoro berada di Dusun Ngantru/Kamijoro, Kelurahan Sendangsari, Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dam Kamijoro ini dibangun pada tahun 1924. Hal itu ditandai dengan dikeluarkannya izin pembuatan saluran irigasi dari Sungai Progo tertanggal 28 Februari kepada Ir. Julius Schmutzer oleh Sultan Hamengku Buwana VIII. Saluran irigasi ini penting untuk keberlangsungan hidup pabrik gula yang dikelola keluarga Schmutzer dan untuk membantu petani. Segera setelah izin itu dikeluarkan dibuatlah saluran irigasi (Dam) dari sisi Sungai Progo di Kamijoro. 

Sumber : Buku Pusparagam Cagar Budaya

 

Bangunan Cagar Budaya Stasiun Palbapang

Bangunan Stasiun Palbapang merupakan salah satu Bangunan Cagar Budaya yang secara administratif terletak di Kalurahan Palbapang, Kapanewon Bantul. Stasiun tersebut adalah stasiun yang melayani penumpang serta pengangkutan barang-barang hasil perkebunan tebu dan pabrik gula. Keberadaan pabrik-pabrik gula yang ada di kawasan Bantul mampu menarik pihak swasta NV. NISM (Naamlooze Venootschap Nederlandsch Indische Spoorweg Maatschappij) untuk memperluas jaringan rel kereta api. Pembangunan jalur kereta api tahap pertama dari Yogyakarta (Tugu)-Srandakan sepanjang 23 km mulai beroperasi tahun 1895. Kemudian pembangunan tahap kedua yaitu jalur Srandakan-Brosot (Sewugalur) sepanjang 2 km beroperasi mulai tahun 1915. Sepanjang jalur tersebut didirikan stasiun-stasiun kecil di Ngabean, Dongkelan, Winongo, Cepit, Bantul, dan Paalbapang. Sejak tahun 1975/1976 stasiun Palbapang tidak difungsikan lagi. Tahun 1990, emplasemen Stasiun Palbapang digunakan sebagai terminal bus antar kota/propinsi.

Sumber : Buku Pusparagam Cagar Budaya

 

Bangunan Cagar Budaya Cagak ANIEM Palbapang

Cagak Aniem Palbapang berada di Dusun Jodog, Kelurahan Bantul, Kecamatan Bantul, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Cagak Aniem Palbapang di Bantul merupakan salah satu Cagak listrik yang dibuat pada zaman kolonial Belanda yang masih tersisa di Kabupaten Bantul. Istilah cagak aniem menjadi populer di Jawa, khususnya pada akhir abad ke-19 karena cagak itu memang dibuat dan digunakan oleh ANIEM, yakni nama sebuah perusahaan listrik swasta Belanda. ANIEM sendiri merupakan singkatan dari Algemeen Nederlands Indische Electriciteit Maatschappij yang didirikan di Gambir, Jakarta, pada tahun 1897.
Cagak Aniem ini memiliki keunikan karena ketuaan usianya dan juga karena gaya arsitekturnya yang tidak dapat ditemukan pada Cagak listrik lain. ANIEM merupakan perusahaan yang berada di bawah NV (Handelsvennootschap) yang sebelumnya bernama Maintz & Co. Perusahaan ini berkedudukan di Amsterdam, Belanda. Pada akhirnya ANIEM menjadi perusahaan listrik yang menguasai 40 persen pasokan listrik dalam negeri (Hindia Belanda). Kebutuhan dan permintaan listrik yang tinggi membuat ANIEM semakin berkembang dan melakukan percepatan ekspansi. 

Sumber : Buku Pusparagam Cagar Budaya

 

Bangunan Cagar Budaya Joglo Lurah Dongkol Girirejo

Joglo Lurah Dongkol Girirejo di Kabupaten Bantuk berada di Dusun Pajimatan, Kelurahan Girirejo, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Joglo Lurah Dongkol Girirejo merupakan bangunan bertipe joglo, terdiri atas pendopo, dalem, gandok kiwa dan gandok tengen serta dapur. Atap bangunan menggunakan genteng vlaam serta tumpangsari. Bangunan dibangun pada tahun 1876 dan merupakan pindahan dari Temuwuh. Pada tahun 1949 pada saat clash II pernah digunakan sebagai markas Batalyon SWK I Mayor Sarjono yang beroperasi di Bantul dan sekitarnya. Setelah kemerdekaan digunakan sebagai kantor Kelurahan Girirejo (Surakarta) sampai tahun 1952, sekaligus sebagai rumah tinggal Lurah Darmo Sukarto dan sekarang terkenal sebagai Lurah Dongkol. Selain itu bangunan ini pernah menjadi tempat pembuatan tenun secara tradisional.

Sumber : Buku Pusparagam Cagar Budaya

 

Situs Cagar Budaya Candi Gampingan

Candi Gampingan pertama kali ditemukan pada bulan Juli 1995 oleh Bapak Sarjono, ketika menggali tanah untuk pembuatan batu bata. Dari hasil peninjauan yang dilakukan oleh SPSP (Balai Pelestarian Cagar Budaya pada waktu itu) ditemukan arca Dhyani Buddha Wairocana, arca Jambhala, dan arca Candralokeswara. Candi Gampingan mempunyai latar belakang Buddha. Berdasarkan pada gaya seni bangunan dan arca yang terdapat pada Candi Gampingan, menunjukkan ciri abad 9 M. Pada bagian bawah candi terdapat relief hewan, seperti katak dan burung.

Sumber : Buku Pusparagam Cagar Budaya

 

Situs Cagar Budaya Candi Mantup

Situs Mantup berada di Dusun Sampangan, Kelurahan Baturetno, Kecamatan Banguntapan, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Periodisasi Situs Mantup belum dapat diketahui, tetapi berdasarkan bahan bangunannya yang sama, yaitu dari batu putih dan letak situs yang berdekatan, kemungkinan Situs Mantup sezaman dengan Situs Petirtaan Payak. Berdasarkan temuan arca dewa-dewi, fragmen kamandalu, sumuran pada ketiga bangunan dan beberapa temuan hasil penggalian berupa fragmen gerabah (a.l. fragmen cucuk kendi) diperkirakan Situs Mantup bersifat Hindu dan berfungsi sebagai tempat pemujaan.


Sumber : Buku Pusparagam Cagar Budaya

 

Situs Cagar Budaya Petirtaan Payak

Situs ini ditemukan tahun 1970-an oleh para pembuat batu bata, karena lokasi ini sejak dahulu merupakan lahan pembuatan batu bata. Baru pada tahun 1981 situs ini ditangani oleh SPSP(sekarang BPCB). Situs Payak merupakan petirtaan kuna yang mempunyai ketinggian 72,18 m diatas permukaan air laut sedangkan bangunannya sendiri terletak 6 m dibawah tanah. Bangunan di Situs Payak ini berupa bekas tempat pemandian. Diperkirakan situs pertirtaan ini merupakan tempat pengambilan air suci pada upacara keagamaan Hindhu. Situs ini diperkirakan dbangun pada abad ke 9 M.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Benda Cagar Budaya Watu Gilang Baturetno

Watu Gilang Baturetno berbentuk empat persegi panjang, dan di tiap sisinya terdapat relief binatang dan sulur-suluran. Pada sisi selatan terdapat relief burung, sisi barat relief gajah dan kuda terbang, sisi utara relief ikan dan gurita, serta sisi timur relief sapid an rusa. Pada bagian atas terdapat lubang sedalam 15 cm dan garis tengah 18 cm. Sejarah Situs Watu Gilang Baturetno hingga saat ini belum jelas, juga kegunaannya dan masa pembuatannya. Tentang relief yang berbentuk binatang dan dikombinasikan dengan sulur-sulur dan ornamen bunga, diduga merupakan sebuah perlambangan dari tokoh-tokoh dalam wayang. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Situs Cagar Budaya Gua Siluman

Situs Goa Siluman terletak di area persawahan yang saat ini sudah berkembang menjadi pemukiman padat, yaitu di bawah jalan raya yang menghubungkan Gedong Kuning dengan Berbah. Situs ini dahulu merupakan salah satu pesanggrahan keraton yang dibangun oleh Sultan Hamengku Buwana II yang memerintah pada tahun 1792-1810 yang digunakan untuk rekreasi raja beserta keluarganya. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Struktur Cagar Budaya Gua Jepang

Gua Jepang terletak di Dusun Ngreco dan Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong. Gua Jepang terdiri dari 18 gua berbahan dasar beton. Gua dibangun dengan membuat lubang di dinding-dinding. Gua Jepang merupakan bangunan peninggalan militer Jepang pada masa Perang Dunia II. Gua itu merupakan sarana pertahanan militer, terutama untuk mengantisipasi serangan Sekutu ke Jawa melalui Samudera Indonesia. Dari atas bukit yang sulit dijangkau, Jepang merencanakan pengamatan, pengintaian, dan penyergapan terhadap Sekutu. Masing-masing gua mempunyai bentuk serta fungsi yang berbeda. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Benda Cagar Budaya Stoomwals PU

Stoomwals adalah kendaraan berat yang berfungsi untuk memadatkan, meratakan dan menghaluskan jalan. Stoomwals dibuat oleh perusahaan mesin Marshall Sons & Co.Ltd, Gainsborough, Lincolnshire, Inggris.  Stoomwals memiliki ukuran panjang 500 cm, lebar 200 cm dan tinggi 255 cm. Stoomwals merupakan peninggalan masa Kolonial yang berfungsi sebagai sarana atau alat yang digunakan untuk pembangunan jalan beraspal. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 Bangunan Cagar Budaya Rumah Tradisional Milik Sri Hartinah

Rumah tradisional milik Ibu Sri Hartinah dibangun pada bulan November pada tahun 1920an. Rumah ini merupakan rumah tinggal Bapak Harjo Sudarmo. Pada tahun 1982-1995, joglo dimanfaatkan sebagai tempat usaha batik tulis. Gempa Jogja pada tahun 2006 tidak menimbulkan kerusakan yang parah pada konstruksi joglo. Bentuk joglo masih asli dari awal pembangunannya. Berdasarkan denah, rumah milik Sri Hartinah, terdiri atas enam bangunan. Dua joglo di bagian depan berfungsi sebagai pendapa dan dalem. Satu bangunan limasan di sisi timur berfungsi sebagai gandhok tengen. Dua bangunan kampung di sisi barat berfungsi sebagai gandhok kiwa dan satu bangunan kampung di sebelah selatan sebagai pawon. Rumah Joglo milik Sri Hartinah menghadap ke utara, memiliki halaman di sebelah utara dan dibatasi jalan kampung.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Situs Cagar Budaya Pesanggrahan Sonopakis

(Peta situasi benteng Struktur PesanggrahanSonopakis (garis warna hitam) (Sumber: BPCB DIY, 2004))

Pesanggrahan Sonopakis dibangun pada masa pemerintahan Sultan Hamengku Buwana II. Di dalam Serat Rerenggan Kraton disebutkan bahwaterdapat beberapa pesanggrahan yang dibangun pada masa Sultan Hamengku Buwana II. Situs Pesanggrahan Sonopakis dibangun di atas tanah Kasultanan Yogyakarta seluas 15 hektar. Pada saat ini lingkungan tempat Pesanggrahan Sonopakis berada telah penuh dan padat dengan permukiman penduduk. Akibatnya banyak bangunan pesanggrahan sudah tidak dapat ditemukan keberadaannya. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Situs Cagar Budaya Pesanggrahan Ambarbinangun

Pesanggrahan Ambarbinangun dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono VI (1855 – 1877) sebagai tempat peristirahatan. Pesanggrahan Ambarbinangun menghadap arah utara. Pesanggrahan ini awalnya memiliki enam halaman yang dihubungkan dengan pintu dan gapura yang masing-masing halamannya dibatasi oleh tembok pagar yang terbuat dari bata yang diplester. Pesanggrahan ini terdiri dari beberapa bangunan dan struktur, yaitu Dalem Ageng, Gedhong Pecaosan, kolam pemandian, Bangsal Dhahar, Bangsal Panggung, Gedhong Papak, pagar keliling, dan tugu prasasti. Beberapa bagian bangunan dan struktur pesanggrahan seperti Dalem Ageng, Gedhong Pecaosan, dan Bangsal Dhahar telah difungsikan dalam kompleks Pondok Pemuda. Enam halaman Pesanggrahan Ambarbinangun saat ini sudah tidak dapat diketahui batas-batasnya. Sebagian halaman tersebut telah menjadi satu kompleks Pondok Pemuda, sementara bagian lainnya berada di luar pagar tembok keliling baru yang dibangun oleh Pondok Pemuda.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Rumah Tradisional Milik Parto Sukardjo

   

Rumah Tradisional ini diduga dibangun pada tahun 1934 oleh Rono Sendjojo, orangtua dari Parto Sukardjo karena sesuai dengan angka tahun yang terdapat pada ukiran di ambang pintu senthong tengah. Parto Sukardjo pernah menjabat sebagai carik Desa Tirtohargo. Bangunan terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pendapa, longkangan, pringgitan, dalem, gandok tengen, gandok kiwa, dan pawon. Bangunan tradisional milik Parto Sukardjo merupakan satu-satunya bangunan berlanggam Jawa di Muneng, Kretek yang masih asli. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Rumah Tradisional Milik Mardi Utomo

Rumah tradisional Mangir dibangun pada tahun 1955 oleh Mertoijoyo, seorang pengusaha gula jawa di Pasar Beringharjo sebagai rumah tinggal. Saat ini rumah tradisional ditinggali oleh Ibu Mardi Utomo , Bapak Jumari, dan Ibu Siti. Rumah Tradisional Mangir Lor menggunakan konstruksi atap model raguman, yaitu rangkaian plafon bambu utuh (empyak) yang dirangkai terlebih dulu sebelum dipasang dengan ijuk yang disebut raguman sebagai pengikat. Konstruksi atap raguman di beberapa bagian mengalami kerusakan dan diganti dengan kayu. Kerusakan terjadi ketika gempa tahun 2006. Rumah induk dan rumah bagian belakang menggunakan atap limasan cere gancet dengan dinding bata yang diplester semen. Rumah bermodel limasan cere gancet memiliki emper yang bergandengan dengan rumah. Bagian-bagian rumah tradisional yang dapat dikenali antara lain pendapa dan pawon. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Dam Makam Mbulan

Dam Makam Bulan dibangun pada tahun 1924 bersamaan dengan dibangunnya Dam Kamijoro. Dam Makam Bulan dibangun untuk meneruskan aliran air dari Dam Kamijoro yang menyudet aliran Sungai Progo ke arah timur. Dam difungsikan untuk mengairi area persawahan di wilayah Bantul sisi barat-selatan dan tengah. Dam Makam Bulan memiliki sistem pintu-pintu air yang menjadi penerus dan pembagi air dari Dam Kamijoro.  Dam Makam Bulan merupakan pintu air sistem irigasi yang dibangun pada tahun 1924 oleh Joseph Schmutzer dan Julius Schmutzer. Dam ini dibangun untuk kepentingan pengelolaan pabrik gula Gondanglipura yang dikelola oleh Joseph dan Julius Schmutzer pada tahun 1912 (Pabrik gula Gondanglipura didirikan tahun 1862 oleh pasangan dari Belanda bernama Stefanus Barends dan Elise Fransisca Wilhelmina Kathaus). Dam dinamakan Makam Bulan sebab keletakannya berdekatan dengan kompleks makam yang bernama Makam Bulan. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Hayasya

Arca Hayasya ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Dalam pantheon agama Budha, Hayasya adalah salah satu anggota dari kelompok dewi penjaga mandala. Dalam mandala Hevajra dan Nairatmya, Hayasya menempati mata angin arah timur.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Mukunda

Arca Mukunda ditemukan dalam kegiatan ekskavasi Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 133. Dalam pantheon agama Budha, Mukunda adalah salah satu anggota dari kelompok dewi pemain alat musik. Dalam mandala Vajrasattva dan Vajramrta digambarkan dengan warna putih. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 Benda Cagar Budaya Arca Muraja

Dalam pantheon agama Budha, Muraja adalah salah satu anggota dari kelompok dewi pemain alat musik. Dalam mandala Vajrasattva dan Vajramrta digambarkan dengan warna asap (gelap). Arca Muraja ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 135. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Sukarasya

Dalam pantheon agama Budha, Sukarasya adalah salah satu anggota dari kelompok dewi penjaga mandala. Dalam mandala Hevajra dan Nairatmya, Sukarasya menempati mata angin arah selatan. Arca Sukarasya ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 130. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vajrabhasa

Dalam pantheon agama Budha, Vajrabhasa adalah Boddhisattva tutur kata. Dalam mandala, Vajrabhasa juga merupakan salah satu dari empat Boddhisattva yang mengelilingi Dhyani Buddha Amitabha, tepatnya di arah barat. Arca Vajrabhasa ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 140. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vajradhupa

Dalam pantheon agama Budha, Vajradhupa merupakan salah satu Boddhisattva yang membawa sesaji puja eksternal bagi Dhyani Buddha Vairocana. Dalam mandala, Vajradhupa berkedudukan di arah tenggara. Arca Vajradhupa ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 140. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vajragantha

Dalam pantheon agama Budha, Vajragantha adalah salah satu anggota dari kelompok dewi pemikat dan pengikat yang pada dasarnya bertugas sebagai kelompok dewi penjaga pintu mandala. Arca Vajragantha ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 127. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Benda Cagar Budaya Arca Vajragiti

Dalam pantheon agama Budha, Vajragiti adalah Boddhisattva nyanyian. Vajragiti juga merupakan salah satu Boddhisattva yang membawa sesaji puja bagi Dhyani Buddha Vairocana. Dalam mandala, Vajragiti berkedudukan di arah barat laut. yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 138. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vajrakarma

Dalam pantheon agama Budha, Vajrakarma adalah Boddhisattva amal kebajikan. Dalam mandala, Vajrakarma juga merupakan salah satu dari empat Boddhisatva yang mengelilingi Dhyani Buddha Amoghasiddhi, tepatnya di arah selatan. Arca Vajrakarma ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 136. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vajralasi

Dalam pantheon agama Budha, Vajralasi adalah Boddhisattva kebahagiaan. Vajralasi juga merupakan salah satu Boddhisattva yang membawa sesaji puja bagi Dhyani Buddha Vairocana. Dalam mandala, Vajralasi berkedudukan di arah tenggara. Arca Vajralasi ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 134. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vajraloka

Dalam pantheon agama Budha, Vajraloka merupakan salah satu Boddhisattva yang membawa sesaji puja eksternal bagi Dhyani Buddha Vairocana. Dalam mandala, Vajraloka berkedudukan di arah barat laut. Arca Vajraloka ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 126. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vajranrtya

Dalam pantheon agama Budha, Vajranrtya adalah Boddhisattva tarian. Vajranrtya juga merupakan salah satu Boddhisattva yang membawa sesaji puja bagi Dhyani Buddha Vairocana. Dalam mandala, Vajranrtya berkedudukan di arah timur laut. Arca Vajranrtya ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 131. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vajrapani

Dalam pantheon agama Budha, Vajrapani adalah salah satu Dhyani Boddhisattva yang dianggap sebagai emanasi dari Dhyani Buddha Aksobhya. Arca Vajrapani ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 122. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vajraraga

Dalam pantheon agama Budha, Vajraraga adalah Boddhisattva cinta. Dalam mandala, Vajraraga juga merupakan salah satu dari empat Boddhisatva yang mengelilingi Dhyani Buddha Aksobhya, tepatnya di arah selatan. Arca Vajraraga ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 132. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vajraraksa

.

Dalam pantheon agama Budha, Vajraraksa adalah Boddhisattva pelindung. Dalam mandala, Vajraraksa juga merupakan salah satu dari empat Boddhisatva yang mengelilingi Dhyani Buddha Amoghasiddhi, tepatnya di arah barat. Arca Vajraraksa ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 124. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vajrasphota

Dalam pantheon agama Budha, Vajrasphota adalah Boddhisattva kunci vajra. Dalam mandala, Vajrasphota merupakan salah satu dari empat Boddhisattva yang membantu Dhyani Buddha Vairocana ke empat penjuru mata angin, berkedudukan di arah barat. Arca Vajrasphota ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 129.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vamsa

Dalam pantheon agama Budha, Vamsa adalah salah satu anggota dari kelompok dewi pemain alat musik. Arca Vamsa ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 137. 

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Vinayaka

Dalam pantheon agama Budha, Vinayaka merupakan salah satu dewi penjaga mandala. Arca digambarkan berdiri di atas padmasana berbentuk oval dalam sikap pratyalidha. Tangan kiri terentang memegang busur dan rambut dari empat kepala manusia, sedangkan tangan kanannya seolah menarik tali busur. Kain yang dikenakan dihiasi motif menyerupai ornamen ceplok. Memakai perhiasan lengkap mulai dari karnapuspa (anting-anting), keyura (kelat bahu), hara (kalung), kankana (gelang), katisutra (sabuk), urudama (hiasan gantung), dan mahkota berbentuk kiritamakuta. Arca Vinayaka ditemukan dalam kegiatan ekskavasi yang dilaksanakan oleh SPSP (sekarang BPCB) DIY di Gua Surocolo, Dusun Poyahan, Desa Seloharjo, Kecamatan Pundong, Kabupaten Bantul pada tanggal 4 September 1976. Saat ini arca tersebut disimpan di kantor BPCB DIY yang berlokasi di Kalasan dengan nomor inventaris BG 144.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

  Benda Cagar Budaya Kotak Wayang Balok Batu Andesit

Letak “Kotak Wayang” (balok batu andesit) berada di sudut tenggara struktur Sendang Moyo yang dipercaya oleh penduduk sebagai kotak wayang milik Ki Dalang Panjang Mas. Balok batu tersebut berbentuk persegi panjang, pada kedua ujungnya mempunyai tonjolan yang diduga berfungsi sebagai pasak. Berdasarkan cerita rakyat setempat, Amangkurat I tertarik dengan kecantikan istri Ki Panjang Mas yang menjadi sinden. Raja memerintahkan agar istri Ki Panjang Mas dibawa secara paksa ke keraton. Saat Ki Panjang Mas sedang mendalang, lampu atau blencong dimatikan oleh pengikut Amangkurat I, lalu istri Ki Panjang Mas yang sedang nyinden diculik. Pada saat itu juga Ki Panjang Mas berserta seluruh niyaga atau penabuh gamelannya dibunuh. Kotak wayang miliknya kemudian berubah menjadi batu, demikian juga dengan perangkat gamelan yang lain. Status kepemilikan Keraton Yogyakarta (Sultan Ground) Dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Sendang Moyo

Sendang Moyo adalah sebuah kolam yang berada di sebelah timur laut kompleks Makam Ratu Malang. Jarak antara makam dan sendang sekitar 25,5 m. Permukaan tanah di sekitar sendang tidak rata. Sendang Moyo merupakan kolam yang digunakan untuk menampung air hujan. Kompleks sendang juga dikelilingi tembok setinggi 3 m dengan ketebalan tembok 2,1 m. Keberadaan Sendang Moyo terkait erat dengan pendirian kompleks Makam Antakapura atau Makam Ratu Malang yang dibangun pada masa pemerintahan Amangkurat I, tahun 1665 dan selesai pada tanggal 11 Juni 1668. Pembangunan Sendang Moyo berkaitan dengan masa pemerintahan Sunan Amangkurat I yang dikenal sewenang-wenang. Makam utama di Gunung Kelir adalah makam Ratu Malang, salah seorang istri Sunan Amangkurat I yang sangat dicintainya, dan direbut dari suaminya, seorang dalang bernama Ki Panjang Mas.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Jembatan Kreteg Abang Madukismo

Jembatan Kreteg Abang Madukismo terletak di antara dua dusun, yaitu Dusun Padokan Lor, Desa Tirtonirmolo (timur) dan Dusun Kembaran, Desa Tamantirto (barat), Kecamatan Kasihan, Bantul yang terbentang di atas Sungai Bedog. Jembatan ini dibangun dengan konstruksi baja dan jalur jalan berupa aspal. Ukuran jembatan panjang 15 m dan lebar 5 meter. Plat baja Jembatan Kreteg Abang Madukismo disambung menyilang dan dibuat di kanan-kiri jembatan dengan konstruksi kuncian menggunakan paku keling. Jembatan Kreteg Abang Madukismo diperkirakan dibangun pada tahun 1955-1956 seiring dengan pendirian Pabrik Gula Madukismo.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Sendang Kasihan

Menurut cerita rakyat setempat, sejarah Sendang Kasihan berkaitan erat dengan kisah Sunan Kalijaga. Disebutkan bahwa Sunan Kalijaga memiliki tongkat bertuah yang diberikan oleh seseorang yang berilmu tinggi. Tongkat Sunan Kalijaga kemudian digunakan untuk membantu Mbok Rondo Kasihan menemukan sumber air. Hal ini disebabkan Sunan Kalijaga merasa iba kepada Mbok Rondo Kasihan yang membawa kendi untuk mengambil air di sungai yang jauh.
Tongkat bertuah ditancapkan ke tanah di Dukuh Kasihan, kemudian ketika tongkat dicabut, muncullah sumber air yang saat ini dikenal sebagai Sendang Kasihan. Sumber air itu dianggap memiliki tuah untuk berbagai keperluan.Diceritakan pula bahwa sendang ini digunakan oleh Nyi Roro Pembayun untuk berendam ketika ditugaskan ayahnya (Panembahan Senopati) memikat Ki Ageng Mangir. Ki Ageng Mangir yang dianggap hendak memberontak pada Mataram kemudian terpikat dengan kecantikan Nyi Roro Pambayun.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Masjid Wonokromo

Masjid Wonokromo adalah masjid pertama yang didirikan di Pleret oleh Kyai Haji Muhammad Fakih atau Kyai Welit atas perintah Sultan Hamengku Buwana I. Masjid ini berperan sebagai pusat penyebaran agama Islam dan pusat aktivitas keagamaan bagi masyarakat di desa Wonokromo dan desa-desa sekitarnya. Bangunan Masjid Wonokromo yang dapat dilihat saat ini adalah hasil pembangunan tahun 2003, kondisinya masih kokoh dan utuh. Meskipun demikian, bentuk bangunan Masjid Wonokromo masih mempertahankan ciri bangunan masjid kuno. Ciri kekunoan tersebut dapat dilihat secara keseluruhan pada arsitektur masjid, terutama pada bagian atap masjid, mustoko, kuncungan, serambi, kolam, kelir, dan gapura paduraksa.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Mushaf Bejen

Mushaf Bejen merupakan sebuah mushaf (bagian dari Alquran yang ditulis tangan) yang dimiliki oleh Muhammad Jalil. Mushaf tersebut ditulis pada tahun 1753. Tahun tersebut diduga merujuk pada tahun Jawa yang apabila dikonversi ke dalam tahun Masehi menjadi tahun 1825/1826. Angka tahun tersebut ditemukan pada bagian penyebutan identitas penulis yang terdapat di halaman belakang mushaf.Mushaf Bejen (juz 1-30) memiliki ukuran panjang 17,6 cm; lebar 11,5 cm; dan tebal 4 cm.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Rumah Dinas Stasiun Sedayu

Stasiun Sedayu diperkirakan didirikan pada tahun 1887 dalam kaitannya dengan diresmikannya Stasiun Tugu Yogyakarta pada tanggal 2 Mei 1887. Peresmian Stasiun Tugu diikuti oleh pembukaan jalur lintas Lempuyangan-Yogyakarta sejauh dua kilometer milik NIS (lebar track 1435 mm) dan lintas Maos-Kroya-Yogyakarta sejauh 155 kilometer milik SS (lebar track 1067 mm). Pengerjaan jalur dimulai dari Yogyakarta di sebelah timur menuju Maos di sebelah barat. Perusahaan kereta api SS (Staatspoorwegen) merupakan perusahaan kereta api milik pemerintah Hindia Belanda. Berkaitan dengan hal itu, maka Mess atau Rumah Dinas Stasiun Sedayu kemungkinan besar juga didirikan pada tahun tersebut. Bangunan Rumah Dinas Stasiun Sedayu menghadap ke arah barat dan atap menggunakan model limasan; Rumah dinas memiliki dua bangunan yang terpisah dan dihubungkan dengan doorloop di sisi timur. Bangunan bagian utara menghadap ke arah barat, arsitektur bergaya Indis. Ciri khas dapat dilihat pada atap bangunan, dinding bangunan dilapisi batu kerikil tempel, dan doorloop. Denah berbentuk empat persegi panjang dengan ukuran 10,1 m x 13,8 m, di dalamnya terdapat lima ruangan

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Tembok Keliling Sendang Moyo

Keberadaan Tembok Keliling Sendang Moyo terkait erat dengan pendirian kompleks Makam Antakapura atau Makam Ratu Malang dibangun pada masa pemerintahan Amangkurat I, tahun 1665 dan selesai pada tanggal 11 Juni 1668. Pembangunan Tembok Keliling Sendang Moyo berkaitan dengan masa pemerintahan Sunan Amangkurat I yang dikenal sewenang-wenang. Makam utama di Gunung Kelir adalah makam Ratu Malang, salah seorang istri Sunan Amangkurat yang sangat dicintainya, dan direbut dari suaminya, konon seorang dalang bernama Ki Panjang Mas. Tembok keliling adalah susunan material yang menjadi pembatas suatu wilayah atau tembok yang mengelilingi sebidang tanah. Tembok Keliling Sendang Moyo berada di atas sebuah bukit yang disebut Gunung Kelir. Di sebelah barat daya tembok keliling Sendang Moyo dengan jarak kira-kira 25,5 m terdapat kompleks Makam Ratu Malang atau Makam Antakapura. Tembok yang mengelilingi Sendang Moyo berukuran 24,40 m x 24,40 m dan tebal 2 m. Tembok ini berdiri di atas “sepatu” (bagian dinding luar yang menonjol) berukuran tinggi 40 cm yang sebagian tertutup tanah. “Sepatu” tersebut berdiri di atas pondasi dengan tinggi sekitar 2 m. Secara umum kondisi tembok telah rusak/runtuh.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Arca Agastya di Kompleks Sendang Kasihan

Arca Agastya ditemukan di sekitar Kompleks Sendang Kasihan. Tidak diketahui secara pasti tahun dan lokasi penemuan arca. Arca kemudian ditempatkan di dekat pintu masuk kompleks sendang bersebelahan dengan Arca Ganesha yang ditemukan di kompleks yang sama. Saat ini Arca Agastya masih dikeramatkan oleh warga. Arca Agastya dimiliki oleh Pemerintah RI (BPCB DIY) dan dikelola oleh Yudaryanto, pemilik Sendang Kasihan.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Masjid Pathok Negoro Dongkelan

Masjid Pathok Negara Dongkelan didirikan pada tahun 1775 M oleh Kyai Syihabuddin atas perintah Sultan Hamengku Buwana I (1755-1792). Masjid ini dibangun di atas tanah perdikan yang diberikan oleh Sultan Hamengku Buwana I sebagai balas jasa setelah Kyai Syihabudin mengalahkan Raden Mas Said. Pada masa Perang Diponegoro (1825-1830), Masjid Pathok Negara Dongkelan sempat dijadikan basis pasukan Pangeran Diponegoro. Oleh karena itu masjid menjadi sasaran perang dan akhirnya dibakar oleh Belanda. Masjid kemudian dibangun kembali setelah perang berakhir. Di atas masjid dipasang kembali mustaka asli dari tanah liat berukuran 70 cm x 45 cm yang dihiasi ornamen sulur dan ornamen menyerupai wajah manusia. Masjid Pathok Negara Dongkelan mengalami pemugaran pada tahun 1901. Pemugaran ini mengganti mustaka tanah liat asli dengan mustaka yang terbuat dari seng berbentuk gada bersulur. Mustaka tanah liat kini disimpan di rumah Kyai Komari. Setelah itu masjid dipugar kembali pada tahun 1948 untuk menambahkan serambi yang semula hanya berupa selasar.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Sumur Gumiling Plered

Sumur Gumuling Plered merupakan komponen Keraton Mataram Islam di Pleret. Sumur Gumuling merupakan satu-satunya sumur peninggalan Keraton Mataram Islam yang ditemukan di Bantul. Sumur Gumuling Plered terletak di area halaman sisi utara Museum Sejarah Purbakala Pleret. Sumur Gumuling Plered memiliki peranan penting dalam sejarah Mataram Islam, yakni sebagai salah satu komponen di dalam keraton (Adrisijanti, 2000: 76). Diameter sumur 0,8 m, tebal bibir sumur 0,11 m, dan. kedalamannya 2,7 meter. Saat ini telah dikelilingi tembok pagar dari semen yang di atasnya diberi teralis pagar dari logam. Tembok pagar dan permukaan Sumur Gumuling dicat dengan warna merah muda. Menurut kepercayaan penduduk setempat, Sumur Gumuling Plered tidak pernah kering dan tetap lancar airnya meskipun dilanda kemarau panjang. Sumur Gumuling dipercayai sebagai bagian dari tamansari atau pemandian yang dibangun atas permintaan sang penguasa Laut Selatan, Nyi Roro Kidul. Selain itu Sumur Gumuling Plered juga diyakini sebagai pusarnya atau udelnya Laut Selatan.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Dinding Sisi Barat dan Utara Masjid Agung Plered

Masjid Agung Plered merupakan masjid kerajaan Keraton Mataram Islam. Masjid ini didirikan oleh Sunan Amangkurat I atau Sunan Amangkurat Agung yang memerintah Kerajaan Mataram tahun 1646-1677 Masehi. Keraton Plered dibangun dengan berbagai fasilitas sebagai pusat pemerintahan, salah satunya adalah pembangunan sarana keagamaan, yaitu Masjid Agung Plered. Dinding Sisi Barat dan Utara Masjid Agung Plered terbuat dari batu bata dan batu putih. Pada dinding sisi barat terdapat struktur yang diduga sebagai pengimaman/ mihrab. Sedangkan dinding sisi utara hanya tersisa struktur dari batu bata.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Dua Puluh Tiga Umpak Masjid Agung Plered

Dua Puluh Tiga Buah Umpak Masjid Agung Plered merupakan komponen bangunan masjid yang berbentuk bulat, tidak seperti umpak pada umumnya yang berbentuk persegi. Dua sumber sejarah yang menyebutkan informasi mengenai waktu pembangunan Masjid Agung Plered adalah Serat Babad Momana dan Babad Ing Sengkala. Dalam Serat Babad Momana (salah satu sumber tertulis yang banyak menyebutkan peristiwa-peristiwa penting yang terjadi di Kerajaan Mataram Islam), menyebutkan bahwa Masjid Agung Plered didirikan pada tahun 1571 Jawa atau 1649 Masehi atau tiga tahun setelah Sunan Amangkurat I naik tahta (Suryanagara, 1865). Sedangkan Babad ing Sangkala menyatakan bahwa pendirian Masjid Agung Plered terjadi pada bulan Muharam tahun 1571 Jawa (Adrisijanti: 2000).

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Batu Balok Masjid Agung Plered 

Batu Balok ditemukan di sebelah utara pagar Masjid Agung Plered. Batu balok andesit diperkirakan sebagai ambang pintu pagar masjid (doorpel) sisi utara. Batu Balok merupakan satu-satunya bagian dari komponen pintu pagar bangunan Masjid Agung Plered yang ditemukan di wilayah Bantul.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Stasiun Winongo

Stasiun Winongo merupakan peninggalan masa Kolonial sebagai bagian dari sejarah transportasi di wilayah Kabupaten Bantul khusunya jalur trem/kereta api Yogyakarta-Srandakan-Brosot. Sepanjang jalur trem Yogyakarta-Srandakan-Brosot dibangun beberapa stasiun kecil sebagai tempat untuk mempermudah masyarakat menggunakan jasa transportasi kereta api. Bangunan Stasiun Winongo menggunakan model limasan. Bangunan membujur utara selatan dan berukuran 1.400 cm x 390 cm. Ruangan stasiun dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian utara berukuran 390 cm x 160 cm, bagian tengah 380 cm x 300 cm dan bagian selatan 390 cm x 940 cm. Di sebelah timur terdapat emperan berukuran 1.400 cm x 460 cm dan lebih tinggi 38 cm dari permukaan tanah. Lantai teras dari plesteran semen.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Lemah Dhuwur Keraton Kerto

Lemah Dhuwur Keraton Kerto diduga merupakan bagian dari sitiinggil Keraton Kerto. Dugaan ini didasarkan toponim Lemah Dhuwur Keraton Kerto yang digunakan masyarakat Dusun Kerto. Lemah Dhuwur Keraton Kerto berasal dari kosa kata bahasa Jawa ngoko yang artinya ‘tanah tinggi’. Toponim ini sesuai dengan siti hinggil, kosa kata dalam bahasa Jawa krama inggil, yang artinya juga ‘tanah tinggi’.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Benda Cagar Budaya Umpak Kerto 

Peninggalan di Situs Kerto berupa dua buah umpak batu berukir yang secara administrasi berada di Dusun Kerto. Dua umpak ini berada dalam orientasi utara dan selatan. Jarak satu umpak dengan yang lainnya 30 m. Kedua umpak memiliki pinggiran miring yang fungsinya diperkirakan untuk mempermudah lewatnya air hujan yang merembes di tiang. Pada setiap umpak terdapat motif hias berbentuk sulur-suluran dari huruf Arab mim, ha, dan dal. Ketiga huruf ini jika disusun akan membentuk nama Muhammad. Umpak Kerto saat ini diberi pengaman berupa pagar menggunakan bahan bambu. Umpak ini sudah tercatat dalam inventaris Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY nomor C15 dan C16. Selain diberi pagar pengaman, Umpak C15 diberi landasan berupa struktur bata merah. Sedangkan Umpak C16 masih berada di atas tanah (tanpa landasan).

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Makam Ki Dalang Panjang Mas

Makam Ki Dalang Panjang Mas berada di dalam kompleks makam Antakapura atau makam Ratu Malang. Kompleks makam terletak di puncak sebuah bukit yaitu bukit Gunung Kelir. Pada kompleks makam terdapat 28 buah nisan, terkelompok dalam 3 lokasi, yaitu 19 nisan ada di halaman depan, 8 nisan berada di halaman inti (tengah), dan 1 nisan ada di halaman belakang. Salah satu nisan di halaman inti adalah nisan Ratu Mas Malang, permaisuri Amangkurat I. Satu nisan yang ada di halaman belakang atau halaman sisi utara adalah nisan Ki Dalang Panjang Mas. Nisan-nisan yang lainnya kemungkinan besar merupakan kuburan para pengrawit atau penabuh gamelan dan pesinden, yang semuanya anggota rombongan Ki Dalang Panjang Mas yang ikut terbunuh. Posisi makam Ki Dalang Panjang Mas berada di sudut barat laut dari kompleks makam. Makam Ki Dalang Panjang Mas terpisah dengan kelompok makam lainnya dan berupa tumpukan batu putih yang diplester, tetapi plesterannya telah mengelupas. Makam tersebut berada di bawah pohon Bulu.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Bangunan Cagar Budaya Stasiun Bantul

Stasiun Bantul merupakan peninggalan Masa Kolonial dan sebagai bagian dari prasarana pada jalur trem/kereta api Yogyakarta-Srandakan-Brosot. Sepanjang jalur trem Yogyakarta-Srandakan-Brosot dibangun beberapa stasiun kecil untuk memperpendek jalur pengangkutan penumpang dan barang. Bangunan Stasiun Bantul menggunakan model atap limasan. Denah bangunan berbentuk persegi panjang, membujur utara-selatan, memiliki ukuran bangunan induk 14 m x 4 m, tinggi bangunan 6,2 m dengan tritisan di empat sisinya selebar 1,5 m. Lantai bagian dalam menggunakan teraso bermotif, warna dasar putih, berukuran 20 cm x 20 cm. Lantai dikombinasi dengan teraso sejenis berwarna dasar merah. Lantai asli bagian luar bangunan/bagian emper sebelah utara sudah tidak tampak karena tertutup conblok untuk trotoar. Saat ini, ketinggian trotoar sama dengan ketinggian lantai stasiun. Lantai bagian luar sebelah selatan berupa plesteran semen PC warna abu-abu.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Tembok Keliling Kompleks Makam Ratu Malang

Tembok Keliling Kompleks Makam Ratu Malang menunjukkan pemilihan lokasi makam di tempat yang tinggi dan dipercaya sebagai tempat sakral pada zaman pemerintahan Amangkurat I, yang merupakan kelanjutan dari tradisi sebelumnya. Pagar keliling kompleks makam terbuat dari susunan balok batu putih berukuran rata-rata 50 cm x 26 cm x 6 cm. Pagar keliling berukuran panjang 34,70 m; lebar 20,20 m; dan ketebalan 1,25 m dengan ketinggian yang berbeda. Tembok makam sisi timur, selatan, dan barat bagian dalam memiliki ukuran 125 cm, sedangkan yang di bagian luar 200 cm. Perbedaan ketinggian tersebut disebabkan adanya perbedaan ketinggian antara halaman dalam makam dengan halaman di luar pagar makam.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Sendang Banyuurip

Sendang Banyuurip dikaitkan dengan kisah pengembaraan Sunan Kalijaga. Diberi nama Sendang Banyuurip karena airnya telah memberikan kehidupan (nguripi) bagi makhluk hidup di sekitarnya, khususnya manusia. Sendang Banyuurip merupakan sumber mata air yang oleh warga setempat dikelola dan dijadikan sebagai sumber mata air yang dimanfaatkan oleh masyarakat. Mata air tersebut telah dibuatkan bak penampung air. Debit airnya tidak besar, tetapi air di Sendang Banyuurip tidak pernah kering. Ukuran bak penampung air 2,5 m x 3 m dan kedalamannya 3 m. Sendang Banyuurip dilengkapi dengan atap berupa bangunan kayu di atas dan di sekelilingnya. Bangunan kayu berukuran 4 m x 6 m, terbagi atas dua ruangan. Satu ruangan untuk mengatapi sendang dan satu ruangan lagi digunakan untuk tempat para peziarah.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Makam Ratu Malang

Makam Ratu Malang dibangun di atas bukit yang dilandasi oleh kepercayaan dari zaman pra Islam bahwa tempat yang tinggi dianggap sakral atau keramat. Makam Ratu Malang posisinya lebih tinggi dibandingkan makam-makam lain dalam kompleks tersebut karena statusnya sebagai istri raja. Pola susunan makam mengikuti struktur bukit, halamannya dibuat berteras, semakin tinggi halamannya dianggap makin sakral, sehingga makam Ratu Malang terletak di halaman paling tinggi. Makam Ratu Malang dimiliki oleh Keraton Yogyakarta dan dikelola oleh Balai Pelestarian Cagar Budaya DIY.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Jembatan Kereta Api Winongo

Jembatan kereta api Winongo merupakan prasarana penunjang terselenggaranya perjalanan kereta api yang melintas di atas sungai pada jalur trem/kereta api Yogyakarta-Srandakan-Brosot. Jembatan kereta api Winongo menghubungkan Dusun Glondong dan Dusun Niten, Kelurahan Tirtonimolo, Kecamatan Kasihan, Bantul. Jembatan terbentang di atas Sungai Winongo. Jembatan ini memiliki panjang 37,5 m dan lebar 1,2 m. Rel di Jembatan Winongo diletakkan di atas bantalan balok kayu. Balok kayu tersebut diletakkan di atas plat baja memanjang sepanjang jembatan. Plat baja ditopang balok kayu. Balok kayu tersebut ditopang oleh lembaran plat baja yang disambung menjadi satu di bawah plat penopang balok kayu sehingga membentuk struktur dinding baja. Setiap dinding plat baja memiliki ukuran lebar 50 cm dan tinggi 70 cm. Bagian tengah jembatan ditopang oleh beton, dan di atas rel jembatan terdapat cor semen dengan ketebalan 40 cm.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Benda Cagar Budaya Arca Ganesha di Kompleks Sendang Kasihan

Arca Ganesha ditemukan di sekitar Kompleks Sendang Kasihan. Tidak diketahui secara pasti tahun dan lokasi penemuan arca. Arca Ganesha dimiliki oleh Pemerintah RI (BPCB DIY) dan dikelola oleh Yudaryanto, pemilik Sendang Kasihan. Pemujaan Ganesha cukup populer di Indonesia pada Masa Hindu Buddha. Ganesha sering ditemukan dalam pantheon Hindu bersama dengan Siva, Durga, dan Agastya.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul).

 

Bangunan Cagar Budaya Rumah Tradisional Milik Dwiningsih

Rumah joglo dibangun pada tahun 1900 oleh Bapak R.Secadipa yang saat itu menjabat sebagai Lurah Canden Kidul. Fungsi rumah joglo selain untuk rumah tinggal juga di gunakan untuk kepentingan markas perjuangan pada masa kemerdekaan.  Rumah Joglo milik keluarga Dwiningsih Sri Rahayu menghadap ke selatan. Halaman depan berupa pekarangan yang cukup luas, ditanami berbagai macam pohon,dan dibatasi dengan pagar dari pasangan bata berplester semen. Bangunan terbagi menjadi beberapa bagian, yaitu pendapa, longkangan, dalem,gandok kiwa, pawon dan sumur.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

Struktur Cagar Budaya Guo Surocolo

Gua Surocolo berada di perbukitan batu putih, sebelah selatan Sungai Opak dan sebelah utara Pantai Parangkusumo. Gua tersebut dapat dijangkau dengan berjalan kaki menaiki bukit melintasi jalan setapak yang dibuat berundak. Gua Surocolo merupakan gua buatan, yang dibuat dengan cara menggali bukit batu putih padas untuk tempat bertapa Sunan Amangkurat II (1677-1703). Ada dua struktur gua yang ada di tempat ini.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)

 

 

Benda Cagar Budaya Yoni Sembungan

Yoni Sembungan ditemukan di puncak bukit yang dinamakan Bukit Pule. Oleh karena itu lokasi tersebut dinamakan Situs Bukit Pule. Situs Bukit Pule terletak di puncak Bukit Pule. Yoni adalah landasan lingga yang melambangkan alat kemaluan wanita. Lubang di tengah yoni adalah tempat untuk meletakkan lingga. Yoni biasanya dihubungkan dengan keberadaan candi agama Hindu karena yoni merupakan lambang Dewi Parvati, cakti (istri) Dewa Siwa. Dengan keberadaan yoni serta banyaknya temuan batu-batu yang membentuk struktur tertentu merupakan indikasi kuat Situs Bukit Pule merupakan bangunan suci (candi) peninggalan dari kebudayaan Agama Hindu. Agama Hindu di wilayah DIY berkembang pada Masa Mataram Kuno abad VIII hingga X.

Sumber : Naskah Rekomendasi Penetapan & Pemeringkatan (TACB Kab. Bantul)